Madilog Skripsi
Matahari
hampir tenggelam di balik kampus, membelah langit yang berwarna jingga tua
seperti sisa-sisa bara api. Di dalam ruangan diskusi perpustakaan, suasana memanas
seperti tungku besi yang ditempa keras.
Sekar
Pramudita mengetuk-ngetuk meja dengan jemari kurusnya. Ada kemarahan yang
mencoba disembunyikan di balik suaranya yang tenang. "Interaksi sosial
anak jalanan harus lebih diprioritaskan. Tanpa kasih sayang, mereka hanya
tumbuh seperti ilalang di tanah gersang!"
Dwi
Chintia Ana Putri terkekeh pendek, matanya sinis. "Sekar, kamu terlalu
romantis. Tanpa kebijakan perlindungan anak, dunia akan terus menelan mereka,
dan kasih sayang tidak akan cukup untuk mengubah sistem!"
Muhammad
Yafid Rofiansyah menegakkan tubuhnya. Suaranya berat, seperti lempengan besi
yang diseret di lantai. "Kalian berdua salah. Semua itu tidak berguna jika
komunitas tidak memiliki pemimpin yang bisa menggerakkan perubahan nyata!"
Kuni
Masyanah, yang sedari tadi hanya mengamati, akhirnya berbicara. "Tapi
bagaimana dengan mereka yang bahkan tidak bisa melihat dunia seperti kita? Kaum
tunanetra terabaikan, kesehatan mereka tidak dianggap. Sistem kita gagal
melihat mereka!"
Bella
Meliana melemparkan buku ke meja, keras. Semua mata tertuju padanya.
"Berhenti! Kita berbicara tentang semua teori ini, tetapi siapa di antara
kita yang benar-benar sudah turun ke jalan dan melihat apa yang terjadi? Mantan
narapidana, anak jalanan, penyandang disabilitas—mereka bertahan sendiri! Kita?
Kita hanya akademisi yang duduk di ruangan ber-AC!"
Hening.
Langit
Triyono melipat tangan, wajahnya tenang tapi penuh perhitungan. "Bella
benar. Kesejahteraan sosial bukan tentang teori, tetapi tentang memahami kehidupan
itu sendiri."
Dwi
Anggraeni menggelengkan kepala. "Kita bukan hanya pengamat, Langit. Kita
pekerja sosial. Kita harus bergerak!"
Di
luar, malam turun lebih cepat dari biasanya. Udara di perpustakaan terasa lebih
pekat. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong. Pelan, mantap,
seperti seseorang yang berjalan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Lalu,
dari kegelapan, muncullah sosok yang membuat mereka semua terdiam.
Tan
Malaka.
Jubah
hitamnya berkibar pelan saat ia berhenti di tengah ruangan, menatap mereka satu
per satu dengan sorot mata tajam.
"Kalian
berdebat tentang kesejahteraan sosial, tentang manusia dan sistem yang mengurungnya.
Tapi apakah kalian sudah benar-benar berpikir?"
Langit
Triyono menelan ludah. "Bukankah itu yang sedang kami lakukan?"
Tan
Malaka menggeleng. "Tidak. Kalian hanya menggenggam data, teori, angka.
Tapi tidak ada yang mempertanyakan akar dari segalanya—kepercayaan buta pada
sistem. Kalian melihat dunia dengan kaca mata yang sudah dikotori oleh
kepentingan mereka yang berkuasa."
Bella
Meliana mengangkat alis. "Lalu bagaimana cara memahami kenyataan?"
Tan
Malaka mendekat, suaranya merendah tetapi menggelegar. "Madilog:
Materialisme, Dialektika, dan Logika. Itulah yang harus kalian pegang. Jangan
hanya terjebak dalam idealisme akademis. Jangan hanya mencatat penderitaan.
Bertanyalah—mengapa ada yang miskin? Mengapa ada yang tertindas? Mengapa kaum
disabilitas, anak jalanan, mantan narapidana, semuanya hanya angka dalam
laporan kalian?"
Sekar
Pramudita mencoba menyanggah, tetapi kata-katanya tercekat.
Tan
Malaka menarik napas dalam-dalam. "Kalian semua terlalu nyaman di dalam
sistem yang telah dibangun untuk tidak pernah mengubah apa pun. Kalian menulis,
berdiskusi, berdebat. Tapi di luar sana, orang-orang masih mati kelaparan,
masih berjalan tanpa melihat cahaya harapan."
Seketika,
ruangan terasa begitu sunyi.
Kemudian,
Tan Malaka bergerak menuju pintu. Ia berhenti sejenak, menoleh.
"Di
dunia ini, tidak ada perjuangan tanpa logika. Tetapi juga tidak ada logika yang
bisa berdiri tanpa keberanian. Jika kalian ingin mengubah dunia, berhentilah
hanya berpikir. Bergeraklah."
Lalu,
ia menghilang ke dalam malam.
Angin
dingin menyusup melalui jendela yang setengah terbuka.
Di
atas meja, sebuah buku terbuka sendiri, seakan-akan ada tangan yang tak
terlihat yang membalikkan halamannya.
Sebuah
kalimat terakhir di sana terlihat jelas.
"Kebenaran
tidak akan datang kepada mereka yang menunggu. Kebenaran hanya dimiliki mereka
yang mencarinya."
Dan
pada akhirnya, mereka semua sadar.
Ini
bukan sekadar diskusi.
Ini
adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Tamat
Cerpen
Ditulis: Copilot AI
Editor:
Akbar AP
Komentar
Posting Komentar