CABANG SEMESTA: Bagian 1

Sore di Yogyakarta, disebuah desa di wilayah Merapi, para mahasiswa tingkat akhir, tengah menjalani KKN. Mereka semua berkumpul, di salah satu rumah warga, beristirahat lepas kegiatan yang cukup melelahkan.

 

Semua terlihat asyik, berbincang satu sama lain. Ada yang membicarakan prihal kegiatan besok, ada yang berbicara tentang trend terkini, ada juga yang membicarakan tentang rencana setelah lulus. Tapi, di antara kerumunan itu, di tengah keramaian, terdapat seorang pemuda, ia ikut berkumpul bersama mereka, hanya saja, dia duduk diam dalam kesendirian. Memperhatikan percakapan, telinganya awas menyisir sekitar, bahkan deguk jantung mereka yang curi-curi pandangpun tidak luput dari pendengarannya.

 

Pemuda itu masih diam, tidak ada yang mengajaknya untuk ikut serta dalam perbincangan. Hingga, sesuatu terjadi, semua orang menoleh menatapnya.

 

**

 

"Tapi Al, kamu ingat enggaksih? Yang tiga bulan lalu itu loh, waktu aku, kamu, dan beberapa teman-teman kita membuat trend Velocity?" Salah seorang teman perempuan berbicara.

 

"Astaga, serius? Kamu juga ikut trend Velocity? Aku mau lihat dong videonya," teman perempuan yang lain menimpali.

 

Sontak semua teman-teman yang lain ikut mendekat, mereka penasaran, "iya aku juga penasaran, gimana si Ali ini melakukan Velocity?"

 

Seketika pemuda itu terlihat kikuk, sekaligus bingung atas apa yang terjadi.

 

Bagaimana tidak? Azka tiba-tiba saja nyeletuk, seolah perbincangan dirinya dengan Azka sudah berlangsung sejak tadi, dan yang tidak kalah mengejutkan, Azka mengatakan bahwa Ali bersama teman-temannya membuat trend Velocity, padahal itu tidak pernah terjadi.

 

Hingga, Azka  menunjukkan sebuah video, yang menampilkan Ali yang tengah Velocity. Seketika semua yang ada di tempat tersebut tertawa terpingkal menyaksikan video itu, tapi tidak dengan Ali, dengan kebingungan yang berkecamuk, ia mengangkat tangan sebagai tanda ingin berbicara.

 

"Iya Al, ada apa?" Azka bertanya.

 

"Kapan aku pernah membuat trend itu?"

 

Mendengar hal itu, seketika Azka menatapnya bingung, dahinya terlipat. "Kamu itu bicara apa sih Al? Jelas-jelas waktu itu kamu membuat trend Velocity bersama teman-teman."

 

Sontak semua orang menatap Ali dan Azka dengan penuh tanda tanya. Walhasil, semua bingung, Ali bingung, Azka bingung, semua orang yang berada di tempat juga ikut bingung. Tapi, di tengah kebingungan itu.

 

 

"Heh, Ali kemana?" Azka menoleh kesekitar.

 

"Lah, bukannya tadi kamu yang duduk paling dekat dengan Ali," Seorang teman perempuan menatap tempat terakhir Ali berada.

 

Azka mengangguk, "iya, tapikan dari tadi aku asyik ngobrol sama kamu."

 

Dengan cepat, kabar hilangnya Ali menyebar. "Apakah Ali pergi karna merasa diabaikan?"

 

"Tapi kalaupun Ali pergi, seharusnya di antara kita ada yang melihatnya," yang lain menimpali.

 

Semua orang berhamburan mencari. Ada yang memanggil-manggil namanya, ada yang berlari ke jalan, ada yang mengecek ke kamar belakang. Tapi, Ali tidak ditemukan di mana pun.

 

Azka berdiri termangu. Ada rasa bersalah yang menusuk dadanya, meski ia sendiri tak tahu apa. Sementara itu, teman-teman yang lain mulai berbisik-bisik, nada suara mereka penuh ketegangan.

 

"Apa mungkin, Ali itu diculik penunggu yang ada di desa ini?" bisik seorang mahasiswa dengan suara bergetar.

 

Belum sempat temannya menimpali, mendadak listrik di seluruh rumah padam. Gelap gulita. Hanya suara napas dan detak jantung mereka yang terasa nyata.

Dan di kegelapan itu, perlahan, sebuah suara berbisik di telinga Azka, "Tolong aku!"

 

Astaga, itu suara Ali, Azka menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.

 

Panik, ia berteriak memanggil nama Ali, tapi hanya gema suaranya sendiri yang kembali.

 

Tiba-tiba, sebuah cahaya kecil menyala dari sudut ruangan. Bukan dari senter, bukan dari api, melainkan seberkas cahaya biru berbentuk seperti pola velocity — pola gerakan cepat yang meliuk-liuk, seperti efek video yang sempat dibicarakan.

 

Cahaya itu melayang, berputar di udara, sebelum akhirnya mengarah ke pintu belakang rumah itu.

 

Tanpa banyak berpikir, Azka dan beberapa teman lain mengikuti cahaya itu — entah keberanian apa yang mendorong mereka.

 

Mereka keluar menuju kebun di belakang rumah, melewati rerumputan liar yang basah oleh embun sore. Cahaya itu terus melayang, membawa mereka ke sebuah jalan setapak yang mengarah ke sebuah bangunan tua yang bahkan warga desa tidak pernah  ceritakan. Bangunan itu tampak sepi dan terlupakan, temboknya dipenuhi lumut, pintunya setengah terbuka, seolah-olah memang menunggu kedatangan mereka.

 

Azka menatap teman-temannya. Mereka semua tampak ragu.

"Kalau Ali ada di dalam, kita harus menyelamatkannya," bisik Azka.

 

Dan dengan tekad bulat, mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan bangunan itu.

 

Sementara itu, Semua orang menatap Ali, menunggu jawabann, seolah-olah dia yang aneh. Ali memandang ke sekitar. Wajah-wajah itu — Azka, teman-temannya — mereka semua tampak familiar, tapi, ada sesuatu yang salah. Senyuman mereka terlalu lebar, gerakan mereka terlalu serempak, seperti sandiwara yang diputar berulang-ulang.

 

Seketika bulu kuduk Ali meremang. Ia mengepalkan tinju,  menegaskan kepada dirinya, "aku tidak pernah ikut Velocity itu."

"Aku tidak pernah."

 

Namun saat dia mencoba mengingat lebih dalam — kenangan itu, secara misterius, muncul. Fragmen gambar dirinya menari dengan gerakan Velocity, tertawa bersama Azka, bersama teman-temannya, gambar-gambar itu muncul di pikirannya sendiri, seolah-olah ditanamkan paksa.

 

Ali terhuyung, "Ini bukan ingatanku!" batinnya berteriak.

Namun semakin dia melawan, semakin kuat kenangan-kenangan palsu itu menekan.

 

Azka mendekat.

 

"Al, kamu kenapa? Kok bengong begitu?" Azka tertawa kecil.

 

Teman-teman lain ikut tersenyum, mengelilinginya, menyorongkan ponsel mereka, menunjukkan klip-klip video Velocity lain yang memperlihatkan Ali — semua dengan sudut berbeda, semua terasa begitu nyata. Dunia ini mencoba membuat Ali percaya. Mencoba membuatnya menerima kenangan yang bukan miliknya. Ali mundur satu langkah, hatinya berdegup keras. Namun, matanya menangkap sesuatu, siluet bayangan seseorang, yang berdiri di sudut ruangan, di balik kerumunan teman-temannya yang sibuk, terdapat sosok dirinya sendiri, duduk diam di sudut, dengan tatapan kosong. Ia termangu.

 

Dia melihat dirinya yang lain, seolah-olah ada dua Ali dalam satu ruang. Sosok itu perlahan menoleh ke arahnya, dan tersenyum tipis, senyum yang membuat darah Ali membeku.

Ali mendengus, "tidak, ini sudah tidak beres," dengan cepat, Ali berbalik, dan berlari meninggalkan mereka.

 

Ali berlari, namun langkahnya terasa berat, seakan tengah berlarian di dalam air. Setiap ia mencoba menembus pintu keluar, lorong rumah itu memanjang tanpa ujung. Dinding-dinding berubah, melebar, memendek, seolah dunia membentuk dirinya sesuai kehendak lain. Di sepanjang lorong, potret-potret tergantung di dinding. Foto-foto itu — anehnya — semuanya menampilkan dirinya sendiri, bersama teman-teman yang tertawa, menikmati berbagai momen kebahagiaan, bahkan, terdapat foto dirinya, yang tengah bermesraan bersama seseorang yang ia cintai dalam diam. Semakin jauh ia berlari, semakin banyak potret itu.

Dan dalam setiap foto, matanya sendiri — dalam gambar itu — menatap lurus ke arah dirinya sekarang, menatap dalam-dalam, penuh sindiran.

 

Ali berhenti, napasnya memburu. Dunia di sekitarnya berdenyut perlahan, seperti jantung raksasa yang berdetak. Tuk, tuk, tuk, di ujung lorong, berdiri sosok dirinya yang lain — Ali yang duduk di sudut tadi — kini berdiri tegak, menatapnya.

 

"Kenapa kabur, Al?" Sosok itu bertanya, intonasi suaranya lembut, namun penuh bujukan.

Ali palsu itu berjalan mendekatinya, "di sini semua orang sayang sama kamu, mereka mengingatmu, mereka menghargaimu."

 

Ali memejamkan matanya, mencoba mengusir suara itu, tapi Ali palsu itu melanjutkan, suaranya menggema di dalam kepalanya.

"Di dunia asalmu, kamu siapa? Yang mereka lupakan, yang mereka abaikan. Di sini kamu penting. Kamu dikenang."

"Kenapa menolak tempat di mana kamu dicintai?"

 

Dengan kuat, Ali menggertakkan giginya. Semua yang dikatakan sosok itu terdengar manis. Bagian kecil dari hatinya ingin menyerah, ingin tinggal, ingin percaya bahwa semua ini nyata, tapi dia tahu, jika dia menyerah, maka dirinya yang asli akan lenyap, digantikan oleh bayangan palsu ini.

 

Ali perlahan membuka mata.

"Kalau memang kalian mau aku tinggal," ujarnya lirih, "kenapa kalian harus mencuri ingatanku?"

 

Mendengar hal itu, seketika senyum sosok itu pudar. Dunia di sekelilingnya bergetar. Dinding-dinding rumah itu mulai retak, retakan bercahaya muncul, menyerupai sambaran petir di malam gelap. Satu per satu potret di dinding meleleh, wajah-wajah berubah menjadi kabut hitam.

 

Ali maju satu langkah. Sosok dirinya yang lain berteriak, suara yang penuh amarah.

 Kalau kamu keluar dari sini, kamu akan benar-benar sendirian!"

 

Namun Ali tidak menghiraukan, ia terus melanjutkan langkah. Lorong itu kini runtuh di belakangnya, dinding-dinding runtuh menjadi debu berkilauan. Di hadapannya, sebuah pintu, berdiri, setengah terbuka menantinya. Dengan tekat yang kuat, percaya bahwa itu adalah jalan untuk kembali, Ali berlari menuju pintu itu, persis disaat ia menyentuh kenopnya, dunia di belakangnya berteriak, memekakkan telinga.

 

"Kamu akan menyesal!"

 

Ali membanting pintu itu terbuka. Seketika tubuhnya terhempas dalam kehampaan.

Gelap, sunyi, tidak ada apa pun yang terdengar. Ali menggantung di ruang tanpa bentuk, tanpa waktu, seakan itu adalah ruang yang mengambil wujud kekosongan.

Sendiri, namun di tengah kesendirian itu, perlahan seberkas cahaya muncul di kejauhan, berpendar lembut.

 

"Al, teruslah maju, tinggalkan ruang kehampaan ini, mari, kembalilah bersama kami, kepada dunia yang terdapat lautan bahagia. Ingat, di tempat itulah kamu diinginkan," suara itu terdengar jelas di telinganya, itu adalah suara Ali palsu.

 

Mendengar hal itu, Ali menarik napas panjang. Ia sadar, pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.

 

Bersambung.

 

Penulis: Muhammad Akbar Nugroho

Diposting oleh: Pendekar Kelana

 

Komentar

  1. Ini yang dinamakan fragment gambarn jaman sekarang. Sering kali, kita ditaklukan oleh kepalsuan, kepalsuan diri kita, but sebaliknya bila kita selalu jujur pada diri sendiri, kepalsuan itu akan bergoncang. Seribu topeng kepalsuan terkalahkan dengan satu kejujuran yang terhunus dari dalam jiwa.

    BalasHapus
  2. Syaratnya, sederhana saja, bermedsos yang bijak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Diri

Secercah Harapan Pada 2024 (sebuah catatan singkat)

Simphoni Sang Cahaya