CABANG SEMESTA: BAGIAN 2

Daftar Isi

 

Benar saja, perlahan cahaya itu mendekat, bersamaan dengan itu, bercak cahaya yang bersinar, perlahan berubah, membentuk sosok lain dari dirinya, Ali palsu.

 

Sosok itu berdiri di hadapannya, persis, tidak ada perbedaan. Matanya, wajahnya, suaranya, semua mirip dengan dirinya.

 

"Wahai, Al, jangan bodoh," sosok itu menatapnya tajam. "Jangan kamu tukar kebahagiaan yang aku tawarkan, dengan duniamu yang tidak seberapa itu. Yang menawarkan kesedihan, kesendirian, serta kesunyian abadi. Kembalilah, ikut bersamaku, ke dalam dunia yang selama ini kau inginkan."

 

Namun Ali menggeleng kuat, "tidak, meski dengan segala keindahan yang kamu tawarkan, aku tidak akan kembali, semua kebahagiaan, cinta, dan penerimaan di duniamu, itu hanya bayangan semu. Sementara di duniaku, terlepas di sana aku tidak diterima, aku tidak diinginkan, tapi itu semua nyata, tidak palsu seperti yang ada di duniamu."

 

Sosok Ali palsu itu menyeringai, "baiklah, jika kamu tidak ingin kembali. Tapi, apakah kamu masih bertahan dengan kebodohanmu itu? Ketika kamu melihatnya? Aku akan mengajarkan kepadamu, tentang apa itu cinta, bagaimana rasanya."

 

Persis diujung kalimatnya, sosok Ali palsu itu menepuk tangannya satu kali, dan bersamaan dengan itu, sosok lain muncul dari balik kegelapan, sosok yang sangat ia kenali.

 

Seorang perempuan yang sangat ia cintai, "Hai, Ali," sosok itu menyapa. "Vin, Vinaa," Ali menimpali, ia mundur satu langkah.

 

Vina tersenyum tipis, meraih pergelangan tangan Ali. "Al, kamu mau kemana? Apa kamu mau kembali ke duniamu? Ayolah Al, buka matamu! Aku mencintaimu, sama seperti kamu mencintaiku. Sementara diriku yang ada di duniamu, itu tidak mencintaimu, di sana, cintamu tidak berbalas."

 

Ali terdiam, dirinya mulai goyah. Sosok Ali palsu itu mengepalkan tinju, sepertinya misinya akan berhasil.

 

Ali menunduk, hatinya bergemuruh hebat, seakan dua dunia bertarung di dadanya. Tangan Vina yang menggenggam pergelangannya terasa nyata, hangat, seperti benar-benar menginginkannya.

 

"Al, jangan kembali!" Suara Vina memecah kesunyian, lembut, menusuk hatinya yang rapuh.

 

Ali memejamkan mata. Ia tahu ini bukan Vina yang sesungguhnya. Tapi keinginan untuk mempercayainya terasa begitu kuat, hampir membuat ia  melupakan segalanya. Namun, Di tengah pergolakkan batin itu, dari kejauhan, terdengar suara lain, samar namun tegas. Sebuah bisikan yang pernah menguatkannya di masa-masa tergelap.

 

"Kebenaran tidak selalu memelukmu dengan kehangatan, tapi ia satu-satunya yang akan membebaskanmu."

 

Ali membuka mata. Ia menatap Vina, menatap matanya yang penuh kasih, namun dalam pantulan itu, Ali melihat sesuatu yang janggal. Sekilas, seperti ada bayangan lain yang mengintip di balik senyum manis itu, kegelapan.

 

"Vina," Ali menarik napas dalam. Perlahan, ia membebaskan tangannya dari genggaman itu.

 

"Aku mencintaimu, tapi aku lebih mencintai kenyataan, meskipun kenyataan itu tidak selalu memihakku."

 

Seketika, senyuman Vina memudar. Mata sosok itu berubah gelap, ekspresinya hampa. Sosok Ali palsu menatap dengan amarah membara.

 

"Kau menolak cinta?" geramnya. "Kau menolak dirimu sendiri?"

 

Ali berdiri tegak. Ada gemetar kecil di kakinya, tapi hatinya sudah bulat.

 

"Aku tidak menolak cinta, tapi  aku memilih kenyataan."

 

Tidak ingin menyerah, sosok Vina itu kembali menggenggam tangan Ali, lebih kuat, menatapnya tajam dengan penuh pengharapan.

 

Namun Ali tetap diam, matanya menatap kosong ke arah Vina yang menggenggam tangannya erat.

 

"Al, ayolah," suara itu merayu, nyaris seperti doa, "kita bisa bahagia di sini. Tidak ada lagi penolakan, tidak ada lagi sepi."

 

Ali terhuyung, sebagian suara dihatinya menyambar, heh, jangan bodoh! Apa salahnya menyerah? Apa salahnya memilih bahagia?"

 

Ali mendengus, Vina menarik tangan Ali dengan lembut, lantas memeluknya dalam diam, penuh kehangatan, dadanya berdesir, air mata Ali menetes, seakan tak kuasa membendung energi cinta yang tidak pernah ia rasakan, terlebih, yang memeluknya saat ini adalah seseorang yang sangat ia harapkan.

 

Lantas, tanpa sadar, Ali membalas pelukkannya, pelukkan yang sama hangatnya, dengan perasaan cinta yang sama besarnya.

 

"Sayang, kamu maukan ikut ke duniaku? Anggap saja, ini adalah balasan dari Tuhan atas semua perlakuan dunia kepadamu," ucap Vina lirih, tangannya mengusap lembut kepala Ali yang rebah dibahunya.

 

"Al, dengar aku baik-baik," Vina kian mengeratkan pelukkan. "Sudah cukup penantianmu selama ini, atas kebahagiaan yang tidak pasti. Kamu berhak untuk bahagia, kamu berhak untuk dicintai, dan hari ini, duniaku hadir, sebagai akhir dari semua luka hebat yang kamu rasakan."

 

Ali mengangkat wajah, Vina tersenyum, meyakinkan kepada dirinya akan cinta yang sejati. Ali mengangguk, sementara itu, sosok Ali palsu tersenyum puas. Lantas, tanpa membuang waktu, Vina menuntun Ali, siap mengajaknya ke dalam Surga ilusi.

 

Ali benar-benar kalah, cinta telah berhasil merenggut kesadarannya. Ia membutuhkan keajaiban, atau dia akan hilang, melebur bersama bayangan semu. Tapi keajaiban itu masih ada, entah bagaimana caranya, karna tepat saat ia mulai melangkah maju —

 

sebuah suara lain membelah kegelapan. Suara yang lebih jernih, lebih nyata, menampar kesadarannya.

 

"Ali!"

 

Suara itu memanggil, menggetarkan seluruh tubuhnya.

 

"Jangan pergi! Aku di sini! Aku sungguhan ada untukmu!"

 

Ali melepas pelukkan, membalikkan tubuhnya cepat.

 

Di sana, berdiri seorang gadis. Wajahnya bersimbah air mata, tapi matanya menyala penuh keberanian. Itu Vina, Vina yang asli.

 

"Aku juga mencintaimu, Al," suara Vina bergetar, namun tegas."

 

Ali termangu, "Sejak lama. Aku hanya terlalu takut mengakuinya."

 

Mendengar hal itu, sosok Vina palsu di samping Ali menjerit melengking. Tubuhnya mulai retak, dari ujung jari hingga ke mata. Ia mencoba menarik Ali, tapi genggamannya menembus tubuh Ali, seakan Ali sudah tak lagi berada di frekuensi yang sama dengannya.

 

"Aku memilih kenyataan," Ali berseru, suaranya penuh keyakinan.

 

Ali melangkah maju, menatap Vina asli yang juga balas menatapnya, "Aku memilihmu."

 

Persis diujung kalimatnya, seketika itu, sosok Vina palsu meledak menjadi ribuan serpihan cahaya, seperti kaca patri yang dihantam badai. Seluruh ruang kosong berguncang hebat, tapi kali ini bukan karena runtuh, melainkan karena terlahir kembali.

 

Ali dan Vina asli berpegangan tangan erat.

 

Di sekeliling mereka, dinding-dinding hitam lenyap, berganti dengan pemandangan ribuan jalan bercabang. Setiap jalan bersinar samar, membentuk lorong yang mengarah kepada  takdir yang berbeda.

 

Ali menatap Vina yang menggenggam tangannya. "Vin, bagaimana bisa kamu berada di tempat itu?"

 

Vina terdiam, lantas ia mengangguk, siap bercerita.

 

Kembali kekejadian bangunan tua:

 

Cahaya itu terus melayang, membawa mereka ke sebuah jalan setapak yang mengarah ke sebuah bangunan tua yang bahkan warga desa tidak pernah  ceritakan. Bangunan itu tampak sepi dan terlupakan, temboknya dipenuhi lumut, pintunya setengah terbuka, seolah memang menunggu kedatangan mereka. Azka menatap teman-temannya. Mereka semua tampak ragu."Kalau Ali ada di dalam, kita harus menyelamatkannya," bisik Azka. Dan dengan tekad bulat, mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan bangunan itu.

 

Setibanya di dalam, cahaya itu berhenti tepat di tengah ruangan, kemudian cahaya itu berputar di tempat, membentuk sebuah lorong kecil, yang sepertinya hanya mampu dimasukki satu orang.

 

Mereka saling tatap, "apakah kita bisa menemukan Ali dengan memasukki lorong bercahaya itu?" Tanya Azka memecah lengang. "Jika itu benar, hanya salah satu dari kita yang bisa memasukki lorong itu," salah seorang teman laki-laki menimpali.

 

"Tapi siapa?" Timpal yang lain.

 

Mereka semua terdiam, "aku saja, belum genap kalimatnya, Vina sudah berlari memasukki lorong, yang lain hendak mencegah, namun gagal, lorong itu mengecil dan terus mengecil, sebelum akhirnya lenyap, menyisakan Azka bersama teman-teman.

 

Ali terdiam, "terimakasihya Vin, ucap Ali lirih, Vina hanya tersenyum.

 

"Lantas? Bagaimana cara agar kita bisa kembali?"

 

"Entahlah Al, aku juga tidak tahu."

 

Sejenak, Vina dan Ali terdiam, berusaha untuk mengenali tempat itu. Namun di tengah keheningan, mendadak terdengar sebuah suara bergema di udara, berat, seperti suara yang datang dari sumur dalam.

 

"Setiap pilihanmu membentuk dunia. Tapi hatimu hanya bisa memilih satu."

 

Ali menatap Vina, yang tersenyum lembut.

 

Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak sendiri lagi.

 

Dan di sanalah mereka berdiri, di antara cabang-cabang semesta, siap untuk melangkah.

 

Ali menggenggam tangan Vina lebih erat. Di hadapan mereka, lorong-lorong takdir itu berkelip seperti bintang-bintang yang hidup.

 

Setiap lorong berbisik pada mereka — tentang masa depan yang bisa mereka pilih, kehidupan penuh cinta, perjuangan yang menguras air mata, atau dunia-dunia aneh yang belum pernah mereka bayangkan.

 

Vina menoleh, matanya penuh keyakinan.

 

"Kita pilih yang mana, Al?" bisiknya.

 

Ali menarik napas panjang. Setiap jalan adalah dunia baru. Setiap langkah adalah pertaruhan.

 

Sudut mata mereka menangkap salah satu lorong di ujung sana yang bersinar lebih terang, seakan memanggil mereka. Namun bersamaan dengan itu, suara berat tadi kembali bergema.

 

"Ingatlah, tidak semua jalan membawa pada kebahagiaan. Ada jalan yang penuh tipu daya, ada jalan yang penuh ujian. Pilih dengan hatimu, bukan ketakutanmu."

 

Ali menatap lorong-lorong itu, lalu menatap Vina.

 

"Aku tidak peduli jalan mana yang kita pilih," Ali bicara, suaranya bergetar. "Asal aku bersamamu, aku siap menghadapi apapun."

 

Vina tersenyum — senyum yang menghangatkan seluruh semesta kecil mereka.

 

Mereka melangkah, bersama-sama, memasuki lorong bercahaya itu.

 

Begitu mereka menginjakkan kaki, dunia di sekeliling mereka berputar cepat, seperti pusaran cahaya yang menelan apa pun. Tubuh mereka terasa ringan, nyaris melayang.

 

Dan ketika semuanya berhenti, mereka berdiri di dunia baru. Dunia yang terasa begitu nyata, tapi aneh.

 

Langitnya berwarna ungu, tanahnya berkilau seperti kaca. Pohon-pohon menjulang tinggi, berbuah cahaya.

 

Dan di kejauhan, sebuah kota berdiri — penuh menara aneh dan makhluk-makhluk berjalan dengan tubuh transparan.

 

Ali memandang sekeliling, hatinya campur aduk antara kagum dan takut.

 

"Vina, ini dunia apa?"

 

Vina menggenggam tangannya lebih erat, "sepertinya ini dunia pilihan kita. Itu artinya, perjalanan kita baru saja dimulai."

 

Dan tanpa sadar, sesuatu bergerak. Mengintai mereka dalam senyap.

 

Bersambung…

 

Penulis: Muhammad Akbar Nugroho

Diposting oleh: Pendekar Kelana

 

  

Posting Komentar