CABANG SEMESTA: BAGIAN 3:
Perlahan,
Ali dan Vina melangkah. Setiap pijakan mereka di tanah berkilau itu memunculkan
riak-riak cahaya ungu yang cepat menghilang.
Udara
terasa tebal, seperti mengandung ribuan bisikan yang tidak bisa mereka tangkap jelas.
Pohon-pohon
berbuah cahaya itu melengkung, seolah memperhatikan mereka. Di kejauhan,
menara-menara kota berkilau seperti kristal, namun jika diperhatikan lebih
seksama, dinding-dindingnya seperti bergerak, bernapas.
Vina
mengeratkan genggaman, "Al, tempat ini terasa aneh," bisiknya.
Ali
mengangguk. "Seolah ada sesuatu yang hidup di balik semua ini."
Lantas,
dari balik kabut ungu tipis, muncullah makhluk-makhluk transparan. Mereka
tinggi, kurus, wajahnya kosong tanpa mata atau mulut. Tubuh mereka berpendar
samar, seperti hologram yang setengah nyata.
Salah
satu makhluk itu mendekat. Suaranya muncul di kepala mereka, tanpa menggerakkan
mulut:
"Selamat
datang Penjelajah."
"Kalian
telah memasuki Lorong Kenyataan yang Belum Sempurna."
Ali
menelan ludah, mencoba bersikap tenang.
"Apa
maksudnya?"
Makhluk
itu menunduk memberi hormat.
"Dunia
ini adalah cermin. Setiap keraguan, ketakutan, atau harapanmu akan menjadi
kenyataan di sini.
Jika
kau takut, ketakutan itu akan menjelma. Jika kau ragu, dunia ini akan runtuh di
sekelilingmu.
Tapi
jika hatimu tetap teguh, kalian bisa membentuk dunia ini menjadi apapun yang
kalian mau."
Ali
dan Vina saling tatap, "hati-hati, Penjelajah," makhluk itu
melanjutkan.
"Siapa
yang gagal menguasai dirinya sendiri akan menjadi Penghuni Kekal di dunia
ini."
Belum
sempat mereka bertanya, makhluk-makhluk itu perlahan memudar, lenyap di balik
kabut.
Vina
menarik napas panjang.
"Al,
kita harus hati-hati. Dunia ini kayak arena ujian, dan musuh terbesar kita
adalah diri kita sendiri."
Ali
mengepalkan tinju.
"Aku
tidak akan kalah lagi. Aku sudah memilihmu."
Tapi,,
jauh di dalam lorong-lorong kota kristal itu, sesuatu telah terbangun.
Sebuah
bayangan, lahir dari sisi gelap Ali — siap mengincar mereka.
Ali
dan Vina kembali meneruskan langkah, setiap
langkah mereka bergema pelan di jalanan kristal yang terasa seperti memantulkan
suara hati mereka sendiri. Setiap bayangan yang melintas di sudut mata membuat
Vina menggenggam tangan Ali lebih erat, khawatir dunia ini akan melahap mereka
hidup-hidup.
Ali
merasakan sesuatu yang mengintai. Bukan dari luar, melainkan dari dalam
dirinya, sebuah gejolak yang lama ia kubur, kini mencakar-cakar untuk keluar.
"Vin,"
Ali bicara, suaranya parau.
"jika
nanti sesuatu terjadi padaku," Vina menghentikan langkah, memaksa Ali
menatapnya. Mata Vina berkilau bersama bayangan ungu di sekeliling mereka.
"Aku
di sini, Al," ucapnya tegas, "aku tidak akan meninggalkanmu,."
Namun,
belum sempat Ali membalas, tanah di bawah mereka bergetar halus. Dari balik
kabut, sosok itu muncul — seperti Ali, tapi bukan.
Matanya
hitam legam tanpa cahaya. Mulutnya tersenyum miring, seperti mengejek.
"Begitu
cepat kau melupakan," bisik bayangan itu, suaranya melengking dalam kepala
Ali.
"Kau
pikir bisa lari dari dirimu sendiri?"
Ali
membeku. Setiap kebencian, amarah yang terpendam, yang pernah ia rasakan,
mengalir keluar, mengambil wujud makhluk itu.
Dadanya
terasa sesak, kesadarannya mulai menghilang, digantikan oleh keinginan untuk
menghancurkan segalanya. Vina mengguncang lengannya, berusaha membangunkannya.
"Ali!
Itu cuma ilusi! Ingat kata makhluk itu — ini semua cermin!"
Namun
bayangan itu melangkah lebih dekat. Setiap langkahnya membuat dunia di
sekeliling mereka bergemuruh, retakan-retakan gelap menjalar di tanah kristal.
Ali
memejamkan mata. Ia tahu:
Jika
ia melawan dengan ketakutan, ia akan kalah.
Jika
ia melawan dengan keraguan, dunia ini akan hancur.
Hanya
satu jalan: menerima.
Ia
menarik napas panjang, membuka matanya, dan melangkah maju, mendekati sosok
dirinya sendiri.
"Aku
tidak membencimu, aku memaafkanmu."
Untuk
sesaat, dunia membeku.
Bayangan
itu bergetar, lantas meledak menjadi ribuan serpihan cahaya, menghilang bersama
kabut yang mengelilingi mereka.
Vina
berlari memeluk Ali, tubuhnya gemetar.
Ali
membalas pelukan itu, seolah baru saja selamat dari peperangan tanpa darah.
Di
kejauhan, kota kristal itu perlahan berubah warna — dari ungu suram menjadi
keemasan hangat.
"Kamu
tidak apa kan Al?"
Ali
terdiam, napasnya masih terengah, Dari kejauhan, Vina melihat sungai yang
terhampar, airnya jernih, dengan Teratai yang tumbuh di tengahnya. Ia berjalan,
menuju sungai yang dilihat, lantas meraih botol kosong dari dalam tas.
Vina
memperhatikan air yang mengalir di hadapannya, "apa air ini aman? Tadi,
makhluk itu mengatakan, bahwa, dunia ini adalah cermin. Setiap keraguan,
ketakutan, atau harapanmu akan menjadi kenyataan di sini. Jika kau takut,
ketakutan itu akan menjelma. Jika kau ragu, dunia ini akan runtuh di
sekelilingmu. Tapi jika hatimu tetap teguh, kalian bisa membentuk dunia ini
menjadi apapun yang kalian mau. Itu artinya, kalau aku berpikir air ini aman,
maka air ini akan aman, tapi jika aku berpikir kalau air ini tidak aman, maka
air ini tidak aman."
Dengan
hati yang teguh, Vina mulai mengambil air itu, lantas berbalik, dan berjalan
mendekati Ali.
"Ini
al, diminum dulu," Vina menyodorkan botol yang telah diisi air itu
kepadanya. Dengan keyakinan yang sama, Ali meraih botol itu. Sejenak terdiam,
"ini, kamu dulu saja yang minum," Ali kembali menyodorkan botol itu
kepada Vina.
Vina
melambaikan tangannya pelan, "apa kamu berpikir kalau air ini tidak aman?
Dan kamu memintaku untuk meminumnya terlebih dulu, untuk menguji keamanan dari
air ini?"
"Astaga
Vin, tidak seperti itu, mana mungkin aku membuatmu celaka, dengan meminum air
yang aku tidak tahu aman atau tidak, jangankan membuatmu celaka, bahkan
terpikir saja tidak. Sudah, kamu minum saja dulu."
Patah-patah,
Vina menerima botol itu dari Ali, untuk kemudian menenggak isinya separuh.
"Ini Al," Ali menerima botol itu, ikut menghabiskan isinya sekali
tenggak.
Mereka
saling tatap, perlahan, Ali meraih Tangan Vina, menggenggam jemarinya erat.
"Terimakasihya Vin, maaf, kalau tadi aku sempat membuatmu takut, aku
nyaris kehilangan kesadaran, saat berhadapan dengan makhluk itu, dia
benar-benar perwujudan dari kebencian, dan amarah terpendam, yang pernah aku
rasakan, ia berusaha untuk menanam paksa segala pemahaman buruk, sehingga aku
mempunyai ambisi untuk menghancurkan semuanya. Beruntung, kamu berhasil
mengembalikan kesadaranku, sehingga aku tidak sampai menyakitimu."
Vina
tersenyum, ia mengangguk, balas menggenggam tangan Ali erat.
Ali
menunduk sejenak, napasnya mulai tenang. Tapi sesuatu di dalam dirinya terasa
belum utuh, seperti ada celah yang belum sepenuhnya tertutup.
Entah
apa yang terjadi, tiba-tiba saja, bayangan mereka berdua yang terpantul di
permukaan air sungai bergerak dengan sendirinya. Vina yang melihat itu,
seketika terbelalak. Bayangan itu—miliknya dan Ali—tidak lagi mengikuti gerakan
mereka.
"Al,
kamu lihat itu?"
Ali
mengangkat wajah, ikut menatap bayangan mereka yang bergerak. Kedua bayangan
itu kini saling tatap, lantas berbalik, menjauh, menyusuri permukaan air yang
kini berubah menjadi hamparan kaca.
"Mereka
meninggalkan kita?" ucap Vina gentar.
Lagi-lagi,
suara itu kembali muncul, suara yang terdengar berat dan dalam, suara yang
menuntun Ali setiap kali ia tersesat jalan, suara yang sedari tadi berbisik
kepada Ali di ruang hampa, serta di antara lorong cabang semesta.
"Bayangan
adalah kebenaran yang kau tolak. Ikutilah mereka, atau kau akan kehilangan
dirimu sendiri."
Ali
berdiri, wajahnya tegang. "Ini belum selesai, Vin. Dunia ini tidak hanya
mencerminkan ketakutan dan harapan, tapi juga menyingkap bagian dari diri yang
kita sembunyikan. Ayo, kita kejar bayangan itu," "memangnya ada apa
dengan bayangan itu Al?"
"Sudah,
tidak usah banyak tanya," Vina mengangguk takzim.
Dengan
cepat, mereka melangkah menuju sungai.
Benar saja, tubuh mereka tidak
tenggelam. Permukaan sungai itu berubah, digantikan oleh hamparan kaca yang terbentang. Bayangan
mereka terus menjauh, menuju kabut yang perlahan turun dari langit, membungkus
dan menyamarkan sosok-sosok itu.
Semakin
mereka mendekati kabut, dunia di sekitar mereka semakin asing. Warna-warna
menjadi redup, suara alam perlahan menghilang, digantikan oleh kesunyian yang
mencekam.
Sementara
itu, dari dalam kabut, suara lain terdengar, itu suara Ali, intonasinya dingin,
penuh luka.
"Kau
memaafkan semua orang, tapi tidak pernah dirimu sendiri. Kau pikir itu
kekuatan? Tidak. Itu pelarian."
Ali
termangu. Vina menoleh, terlihat olehnya tubuh Ali yang bergetar.
"Aku
mengenal suara itu, itu aku. Tapi bukan aku yang sekarang. Melainkan diriku
yang dulu."
Belum
sempat Vina menimpali, mendadak Ali terangkat ke udara, lantas, seperti ditarik
tangan tak terlihat, tubuhnya terseret ke dalam kabut.
"Aliii!"
Vina
berteriak, berusaha meraih tubuh Ali. Terlambat, dengan cepat, tanpa bisa
dicegah, Ali menghilang ditelan kabut.
Lantas,
diwaktu yang sama, dari dalam kabut, terdengar suara erangan—parau, berat,
seperti dua suara dalam satu tubuh. Kemudian
sosok itu muncul, itu Ali, hanya saja, kulitnya tidak lagi putih,
melainkan berwarna hitam legam, rambutnya memutih, matanya merah, tatapannya
dingin, seakan tidak ada lagi Ali di sana. Ali berdiri di hadapan Vina,
menatapnya dengan penuh kebencian.
"Ali?
Kamu?"
"Aku,"
Ali bicara, "bukan siapa-siapa lagi. Aku adalah semua yang dia buang.
Semua rasa yang dia kubur. Dan sekarang aku bebas."
Vina
mundur satu langkah, tubuhnya bergetar. Tanpa menunggu waktu, Ali menerjang,
Tangan Vina terayun, terdorong keras hingga tubuhnya terhempas, menghantam
permukaan kaca yang mulai retak.
Sakit,
tapi lebih dari fisik, yang menyakitkan adalah wajah itu, adalah wajah Ali—yang
kini menatapnya dengan sorot kebencian.
"Apa
rasanya dikhianati oleh orang yang kau percaya, Vina?" Ali bicara,
suaranya lirih, namun menyayat hati. "Seperti aku, saat semua orang pergi.
Saat dunia bilang aku harus kuat, tapi diam-diam berharap aku hancur."
Vina
mencoba berdiri, "Ali, dengar aku! Ini bukan kamu! Ini bukan Ali yang aku
kenal!"
"Salah!"
Ali berteriak. Mendadak tanah bergetar, bayangan-bayangan muncul dari retakan
kaca, menari seperti iblis kecil. "Aku adalah kebenaran yang tak pernah
dia terima. Dan jika kau mencintainya, kau harus menyaksikannya hancur, atau
hancur bersamanya."
Ali
mengangkat tangan, lantas dari telapak tangannya, bayangan hitam pekat meluncur
deras ke arah Vina, seperti tombak kegelapan, tajam, membelah udara.
Bersambung.
Penulis: Muhammad Akbar Nugroho
Diposting oleh: Pendekar Kelana
Posting Komentar