ENDING, CABANG SEMESTA, bagian 4
"Vina,"
seorang gadis berseru, ia melangkah dari balik kabut. Ali menghentikan
gerakkannya, menoleh ke belakang. Itu Vina, lebih tepatnya, Vina yang berasal
dari dunia lain, Vina yang pernah membujuk Ali untuk tinggal di dunia ilusi,
dengan menawarkan cinta dan kebahagiaan. Kita sebut saja sosok ini Vina palsu,
sama seperti saat aku menggambarkan adegan dua Ali dalam satu ruang. Ya,
setidaknya itu lebih baik, daripada harus menyebutnya dengan sebutan Vina terbalik
atau Ali terbalik.
Vina menoleh,
menatap dirinya yang berdiri bersisian dengan Ali.
"Aku akan
menolongmu, Vina palsu itu berbicara. "Dengan syarat, kamu membenci Ali,
sebagaimana aku membencinya. Buang semua perasaan cintamu kepada Ali, kalau
tidak, kamu akan mati ditangannya."
Vina menelan
ludah, lantas menggeleng, "aku tidak akan pernah membencinya, Vina
menimpali, intonasinya tegas penuh keyakinan.
Vina palsu itu
menggeram, "dasar bodoh, lihatlah Ali, orang yang kamu cintai, saat ini
berdiri di hadapanmu, bukan untuk membawa cinta, melainkan kebencian. Sudah
tidak ada lagi Ali di sana, dirinya telah pergi, diambil alih oleh kegelapan.
Maka, lawan dia dengan kebencian, bukan dengan cinta," Vina palsu itu
berseru, berusaha membujuk Vina asli untuk membencinya.
Namun Vina tetap
menggeleng, menolak patuh, ia tahu, kalau dia sampai membenci Ali, maka
realitas akan berubah, Vina palsu yang berdiri di hadapannya, akan berbalik
mencintai Ali, dengan begitu, Ali bisa dengan mudah untuk ia bawa dan tinggal
di dunia ilusi. Melihat hal itu, sosok Vina palsu melambaikan tangannya kepada
Ali, "habisi dia,"
Persis diujung
kalimatnya, bayangan gelap itu kembali melesat, meluncur deras ke arah Vina,
siap meremukannya tanpa ampun.
Situasi kian
berbahaya, hanya soal waktu, bayangan gelap itu akan menghancurkan tubuhnya,
serta menelan jiwanya ke dalam kematian. Vina terkapar tak berdaya, menatap Ali
yang dicintai, menatap bayangan gelap di tangannya. Vina tersenyum memejamkan
mata, siap menjemput ajal. "Tuhan, jika aku harus mati di tangannya, aku
mohon, setelah kepergianku, tolong bebaskan dia, dari cengkraman sisi gelap
dirinya sendiri," Vina bergumam lirih, nyaris tidak terdengar.
Mendadak
gerakkan Ali terhenti, bukan karna dia sadar kalau itu Vina, tapi, sesuatu telah
terjadi.
Iya, saat itu, Ali memang
tidak lagi mengenali siapa pun, termasuk Vina. Tapi, Masih ada bercak debu
kenangan, butir halus ingatan yang tersisa, yang tengah memanggil kesadarannya.
Ingatan itu
bukan tentang Vina, melainkan tentang momen kebersamaan dirinya, dengan sosok
perempuan pertama yang ia cintai, jauh sebelum dirinya mengenal Vina.
Perlahan,
ingatan itu memunculkan suara, suara lembut, yang bergema memenuhi kepalanya.
"Ali, kau ingat idak, apo yang dulu sering datuk kecek samo kau waktu dio
masih hidup?"
Suara itu
berbicara, dalam bahasa daerah asal, mengingatkan Ali akan momen percakapan
itu, percakapan antara Ali dan ibunya.
Kini, suara itu
kembali bergema, mengingatkan pesan sang kakek disaat Ali kecil.
"Kecek
datuk, sekejam apo pun dunia samo kito, sesakit apo pun pengalaman yang kito
alami, jangan sampai kito jadi orang jahat. Kau boleh kecewa, kau boleh marah,
dan kau boleh ngeraso sakit, tapi, jangan sampai segalo perasaan itu, membuat
kau berubah, jadi orang yang idak dikenal."
Persis diujung
kalimat itu, tubuh Ali bergetar hebat, bruk, seketika Ali jatuh, kejang-kejang,
sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Vina membuka
mata, menghela napas panjang. "Al, bangun," Vina mengguncang pelan
tangan Ali.
Melihat hal itu,
Vina palsu menggeram marah, ia melangkah maju, hendak menghabisi Vina. Tapi.
belum sempat ia berbuat, BUUM! Energi tak terlihat menghantam tubuhnya,
seketika, tubuhnya berubah menjadi asap tipis, untuk kemudian, sosok Vina palsu
itu menghilang.
Lengang,
digantikan suara Vina yang terus berseru membangunkan Ali, tanpa sadar, sosok
kakek berjubah putih, tinggi kurus, tengah berdiri di belakang Vina, kakek itu
tersenyum, menatap wajah Vina yang mengkhawatirkan Ali.
Kakek itu
melangkah maju, berdiri di samping Vina. Vina menoleh, terlihat olehnya,seorang
pria, berjubah putih. Tubuhnya kurus, tinggi, wajahnya tenang, seolah menyimpan
ribuan kebijaksanaan.
"Kakek ini
siapa?"
Vina bertanya,
berusaha sesopan mungkin.
Kakek itu diam,
tidak menjawab. Perlahan ia melangkah, mendekati Ali yang masih terkulai.
Tangannya terulur, menyentuh dahi cucunya, seketika, cahaya lembut membungkus
tubuh Ali.
Di sisi alam
bawa sadar, Ali membuka mata, ia berdiri di tengah padang tandus, langitnya
merah tua, tanahnya hitam kelam. Di depannya, terpisah dua langkah, kakek
berjubah putih itu berdiri.
"Siapa
kau?"
Ali bertanya.
"Aku adalah
mata rantai sebelum kau, Leluhurmu dari jauh. Aku datang bukan untuk menjadi
jawaban, tapi untuk mengingatkanmu… tentang siapa yang dulu pernah menjadi
tempat dari segala jawaban."
Ali terdiam,
lantas terkesiap. Kakek itu mengangguk. "Ya, lelaki tua itu, yang semasa
hidupnya, tidak pernah menolak satu pun pertanyaan. Tempat orang-orang datang
membawa bingung, pulang membawa tenang, tempat bagi mereka yang haus akan
jawaban. Ia adalah cahaya kecil yang pernah menuntun banyak jiwa."
Ali menggigit
bibirnya. Ingatan itu membanjiri benaknya—tentang seorang tua sederhana yang
menjawab kegelisahan tanpa penghakiman.
"Aku
ingat," gumam Ali pelan. "Ia pernah mengatakan, jika kamu belum
sanggup menerima jawaban, teruslah jadi pertanyaan yang berjalan."
Kakek itu
tersenyum. "Dan sekarang, kau bukan anak kecil yang membawa tanya. Kau
adalah laki-laki yang harus bersedia jadi tempat orang lain menyandarkan tanya
mereka.
Ali terdiam,
"lalu, apa peran yang Tuhan titipkan padaku? Yang benar-benar khusus?
Bukan karena takdir tanpa makna, tapi karena jiwaku memang diciptakan
untuknya."
Sejenak, kakek
itu terdiam, "peranmu… bukan membagi jawaban. Akan tetapi, menjadi ruang
di mana orang lain berani bertanya. Bukan untuk membenarkan hidup mereka, tapi
untuk menemani mereka menelusuri kesunyian. Kau bukan penjaga kebenaran,
melainkan penjaga kesediaan untuk mendengarkan."
Ali menunduk, ia
menyadari, bahwa itu bukan pujian, tapi beban yang harus dijalani.
"Bagaimana
jika aku jatuh?"
"Kau pasti
jatuh. Tapi kau tak akan hancur, selama kau ingat—bahwa ruangan yang sepi
sekalipun, tetap bisa menjadi tempat bagi mereka yang ingin beristirahat.
Sementara itu,
dari kejauhan, suara lembut memanggil. "Ali, bangun."
Itu suara Vina,
Ali menoleh, seketika, langit di atas padang itu pecah menjadi cahaya. Ali
membuka mata—kembali ke dunia nyata. Tapi kini, ia bukan hanya kembali sebagai
Ali. Namun juga kembali sebagai ruang.
“Ali!"
Vina berseru,
menahan isak. Memeluknya erat, memastikan bahwa pria yang ia cintai itu telah
kembali.
Ali menatap
bingung. "Aku kembali?"
Vina mengangguk,
kamu tidak pergi, kamu hanya tersesat."
Kakek itu masih
di sana, berdiri, menatap mereka bergantian, sorot matanya tenang.
"Cucuku,"
kakek itu bicara, "tidak ada yang benar-benar kembali, kecuali ia membawa
pulang sesuatu selepas dirinya jatuh."
Ali menunduk,
"aku tidak tahu, apakah yang kubawa ini cukup berarti."
Kakek itu
tersenyum, "bukan soal cukup, akan tetapi, soal apakah itu kau. Dunia ini
tidak butuh pahlawan yang sempurna, tapi butuh manusia yang jujur pada
lukanya."
Vina menatap
lelaki tua itu, "sebenarnya, kakek ini siapa?"
"Aku adalah
leluhurnya," kakek itu menimpali, menunjuk Ali yang masih berusaha
memahami apa yang baru saja terjadi. "Dan kini, aku hanya ingin mengatakan
sesuatu, sebelum waktu kembali menutup pintunya."
Kakek itu
menatap kepada Ali. "Kau bertanya tentang peran yang Tuhan berikan secara
personal kepadamu. Sekarang aku tanya: apakah kau siap menerimanya, meski itu
berarti kau harus menanggung pertanyaan orang lain, tanpa selalu bisa memberi
jawaban?"
Ali diam
sejenak, lantas mengangguk mantap. Sementara itu, Vina menyentuh tangan Ali,
menatap sang kakek dengan penuh keyakinan. "Jika itu perannya, aku akan
tetap di sisinya. Karena yang ia bawa bukan hanya beban, tapi juga
harapan."
Kakek itu
tersenyum menatap mereka bergantian. "Cinta seperti ini, adalah kekuatan,
bukan kelemahan. Tapi ingat, Ali, hal yang paling berat bukanlah menyembuhkan
orang lain, melainkan tetap utuh ketika semua luka orang lain mencoba tinggal
di dalam dirimu."
Ali menarik
napas, "apa yang harus kulakukan jika aku mulai lelah?"
Kakek itu
menjawab pelan, namun tajam.
"Kau
sendirilah yang tahu jawabannya, ingat Ali, terkadang pesan terpenting datang,
bukan hanya dari apa yang terlihat, tapi juga datang dari yang tidak terlihat.
Seperti doa ibumu."
Ali terdiam,
"salah seorang Leluhurmu, adalah tempat dari semua jawaban. Orang-orang
datang kepadanya bukan karena dia tahu segalanya, tapi karena ia bersedia
mendengarkan. Ia menampung gelisah, tapi tidak menjual jawaban, ia hanya
hadir."
Lantas kakek itu
berbalik menatap Vina. "Dan engkau gadis muda, jangan kau kira peranmu
hanya sekadar menemani. Kau bukan bayang-bayangnya, melainkan lentera
kedua."
Vina terdiam,
wajahnya tertunduk, "Tapi aku, aku hanya mencoba bertahan. Aku bukan dia.
Aku tidak sekuat itu."
Sang kakek
tersenyum, "kau tidak perlu menjadi kuat. Kau hanya perlu tetap ada.
Orang-orang seperti Ali, yang membawa luka orang lain dalam dirinya, sering
kali lupa untuk pulang kepada diri sendiri. Maka tugasmu bukan menyembuhkannya.
Tugasmu adalah menjadi rumah, ketika dirinya lelah, dan membutuhkan tempat
untuk pulang."
Kakek itu
kembali menatap Ali, "kau bukan penyelamat. Bukan pemilik solusi. Kau
adalah penjaga ruang, tempat orang lain merasa boleh runtuh tanpa takut
dihakimi. Peranmu bukan menjawab semua pertanyaan, tapi bertahan di sisi orang
yang sedang mencarinya."
Lantas, ia
meletakkan telapak tangannya di dada Ali. “Jika kau sanggup menjaga ruang itu,
dengan hati, bukan ego, maka itulah jalan yang Tuhan titipkan padamu.
"Dan kau
gadis muda, jika suatu hari Ali tersesat dalam pikirannya sendiri, maka
tugasmulah mengetuk pintu-pintu jiwanya, bukan untuk masuk, tapi untuk
mengingatkan, bahwa ada seseorang yang tak akan pergi."
Vina mengangguk,
kakek itu tersenyum lega. "Yasudah, perjalanan kalian cukup sampai di
sini, sekarang saatnya kalian kembali ke dunia kalian, dan jalani peran yang
diberikan. Kalian bukan peran yang berbeda, melainkan peran yang saling
melengkapi, saling menjadi rumah, saling memberi ruang."
Sang kakek mengangkat
tangannya tinggi-tinggi, BLAAAR! Ledakkan terdengar, tak jauh dari mereka,
permukaan tanah merekah, membentuk lubang, seperti sumur, tapi dengan ke
dalaman yang tidak terlihat.
"Masuklah
kalian ke dalam lubang itu," "terimakasih kek," Ali menunduk memberi
hormat.
Sang kakek
mengangguk, Ali menatap Vina, Vina tersenyum, meraih tangan Ali, lantas mereka
berjalan menuju lubang.
"Ali,"
sang kakek berseru. Ali menoleh, menatap sang kakek yang tersenyum kepadanya.
"Jadilah ruang yang tidak menuntut pulih, tapi selalu membuka pintu bagi
siapa pun yang ingin kembali," Ali mengangguk, balas tersenyum.
Sementara itu,
di dunia asal. Terlepas mereka semua cemas terhadap Ali dan Vina, program KKN
itu tetap berjalan seperrti biasa. Seperti pagi itu, mereka tengah membantu
para warga untuk menyiapkan makan bergizi geratis. Rendang dua ratus kilo
disiapkan, kuali besar itu nyaris kosong, sebagian besar daging sudah dibungkus
dan dimasukkan ke dalam ratusan Box makanan, siap dibagikan ke Sekolah-sekolah.
Azka, tolong
ambilkan lagi rendang di kuali itu, masih ada dua puluh box yang belum
diisi," Azka mengangguk, berjalan ke kuali. Setibanya di depan, bruk,
"aaa," Azka histeris, melangkah mundur. Mendengar hal itu, mereka
menoleh, menatap Azka bingung, namun Azka hanya diam, mereka berbalik menatap
kuali, melihat apa yang ada di sana.
"Wayah,"
mereka semua terkesiap, terkejut dengan apa yang mereka lihat.
"Vina
menatap Ali, "Al, sepertinya kita salah tempat mendarat."
"Yeah,
seperti siklus kehidupan manusia, dari lubang, kembali ke lubang," Ali
nyengir lebar.
Mereka berdiri,
keluar dari dalam kuali, dengan tubuh yang belepotan bumbu rendang.
"Astaga
Vin, Al, apa yang terjadi? Bagaimana bisa kalian memasuki kuali itu begitu
saja?"
Azka bertanya,
tatapannya menyelidik. Ali melambaikan tangannya pelan, ceritanya nanti saja,
aku lapar,"Ali menimpali, mengunyah daging yang sempat ia ambil.
"Heh Al,
jorok ih, itukan daging yang tadi kamu injak," seru Vina protes. Ali
mengangkat bahu, setidaknya, ini lebih baik, daripada harus memakan ayam yang
tidak ada rasanya, Ali menyeringai. Lantas ia melangkah pergi, disusul Vina
yang berjalan di belakangnya, mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap
keduanya penuh tanda tanya.
Tamat.
Penulis: Muhammad Akbar Nugroho
Diposting oleh: Pendekar Kelana
Posting Komentar