ENDING, RUMAH, bagian 6, PERANG BATIN

Table of Contents

Portal itu terus membawa mereka, menuju hutan tempat pertemuan mereka dengan Harimau. Tiba di kawasan hutan, langit tak lagi cerah, digantikan kegelapan tanpa bintang. Suara hewan buas dan serangga malam bermunculan, sesekali uhu burung hantu terdengar di kejauhan.

"Kalian kembali," Harimau itu bicara, menatap wajah Ali dan Vina yang terlihat lelah. Ali dan Vina mengangguk, "makanlah, kalian memang hendak menyelamatkan dunia, tapi bagaimana bisa kalian menyelamatkan semuanya, jika kalian tidak bisa menyelamatkan diri sendiri," Harimau itu menunjuk tungku perapian. Seekor Kijang bakar berbalut bumbu rempah tersedia, aroma asap yang memenuhi ruang udara, dengan cepat memanggil cacing yang sedari tadi berteriak. Ali dan Vina menatap Harimau putih, menatap Kijang bakar yang menggoda, lantas kembali menatap Harimau putih.

GRRRAAAAAUUUUUUWWW! Harimau mengaum kesal. "Heh, kalian meremehkan kemampuanku? Dasar tidak sopan, aku memang seekor Harimau, tapi aku sudah hidup ratusan tahun, jauh sebelum kalian lahir. Jelas jika aku memiliki segudang keterampilan, salah satunya memasak."

Vina menelan ludah, Ali terdiam, keraguan terhadap Harimau itu terpancar jelas diwajahnya. Harimau mendengus sebal, "kalian makan, atau kalian yang aku makan."

Tanpa disuruh dua kali, Ali dan Vina berlari, dengan cepat, mereka melahap Kijang bakar, tidak perduli bahwa itu masakan seekor Harimau.

 

Sekejap, Kijang bakar itu tandas, mereka duduk bersandar pada sebuah batang pohon besar. Api di tungku masih menyala, menjilat udara malam yang pekat. Suasana lebih hangat.

Ali memandang bara api yang mulai redup. "Tadi, di kampungmu, kamu benar-benar berani, Vin. Menyentuh kembali luka itu."

Vina tak segera menjawab. Ia memainkan sisa tulang di jemarinya.

"Aku tidak merasa berani," Vina membuka suara. "Aku hanya lelah jika terus berlari. Tapi tetap saja, waktu menatap ibuku, bahkan hanya dalam bayangan, aku merasa seperti anak kecil lagi. Tak berguna."

Ali menoleh, menatap wajah Vina yang redup. "Kamu tidak sendiri."

Vina mengangguk pelan.

"Kamu tahu apa yang paling kutakutkan, Al?"

"Apa?"

"Kalau ternyata selama ini, aku tidak benar-benar siap bersamamu. Bagaimana jika ternyata aku hanya membutuhkan pelarian, dan kamu yang kebetulan ada."

Ali menahan napas, kalimat itu seperti duri. Tapi ia tidak mundur.

"Jika itu benar, aku akan tetap ada. Karena bahkan jika kita hanya dua orang terluka yang saling mencari tempat sembunyi, setidaknya, aku tahu di mana tempatku, di sebelahmu."

Vina menunduk, "tapi aku takut melukai. Takut membuatmu penuh beban."

Ali tersenyum, "Vin, luka terbesarku bukan apa yang orang lain timpakan padaku. Melainkan disaat aku merasa harus selalu kuat. Disaat diriku tak boleh jatuh. Tak boleh rapuh. Itulah yang membuatku nyaris kehilangan diriku sendiri."

Lengang sejenak, Harimau putih membuka suara. Suaranya pelan, namun berat.

"Sayangnya, kejujuran kalian datang terlambat."

Ali dan Vina menoleh serempak.

Harimau itu berdiri tegak.

"Waktu kalian sedikit lagi, hanya sampai besok, ketika Matahari terbit. Jika kalian belum menyatu sebelum cahaya pertama, maka semua luka akan dilepaskan tanpa penampung. Dunia akan diseret ke dalam dirinya sendiri. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan, dan kalian akan terkoyak oleh rasa yang kalian sendiri tolak untuk hadapi."

Sontak Vina berdiri, wajahnya pucat. "Tunggu! Kami belum siap!"

Harimau putih menggeleng perlahan, "tidak ada yang benar-benar siap. Tapi cinta bukan tentang siap atau tidak. Melainkan tentang memilih tetap tinggal, bahkan di tengah badai yang menolak tenang."

Ali dan Vina saling tatap, tidak ada lagi waktu untuk meragukan. Tak ada tempat untuk bersembunyi.

"Apa yang harus kami lakukan?"

Ali bertanya, suaranya bergetar. "Kalian cukup duduk bersila, dengan tangan yang saling tergenggam, berkonsentrasi. Rasakan jiwamu masuk ke tubuh Vina, pun sebaliknya, rasakan jiwamu masuk ke tubuh Ali," Harimau itu menjelaskan, menunjuk keduanya bergantian.

Mereka mengangguk, duduk bersila, dengan tangan yang saling menggenggam. Sejenak, mereka berkonsentrasi. Lengang, tidak terjadi apa pun. Ali menghela napas, "kita coba lagi, Vin."

Vina mengangguk, kembali berkonsentrasi. Lagi-lagi lengang, tidak terjadi apa pun.

Harimau itu maju satu langkah, lantas dengan kaki depannya, Harimau itu mencakar udara. Seketika, di hadapan mereka, tirai cahaya tersibak, dan dibalik cahaya itu, mereka melihat kekacauan yang terjadi.

Kota terbakar, orang-orang berlarian dengan tatapan kosong, seperti boneka tanpa kendali. Tangis anak-anak memecah langit, ada yang memukul dirinya sendiri, ada yang duduk memeluk lutut, menatap kosong ke tembok yang berlumuran darah emosi.

Luka-luka itu telah keluar, tidak lagi menyerang dalam diam, tapi mengambil wujud bayangan hitam. Menari di atap-atap rumah, turun ke jalan, menyeret manusia satu per satu ke dalam kabut gelap.

Ali menelan ludah.

Vina menutup mulutnya, menahan mual.

"Lihat," suara Harimau berat, "inilah yang terjadi jika kalian gagal menyatu. Dunia tidak menunggu kalian selesai menyembuhkan diri. Dunia terus berjalan menuju kehancuran."

Tirai itu terlipat, memperlihatkan Rosa, tubuhnya dililit bayangan luka, matanya penuh ketakutan, bibirnya berdarah karena menggigit diri sendiri.

Rosie, berteriak marah pada sosok ibunya sendiri yang muncul dari luka, lalu jatuh terduduk dalam tangis.

Jack, berdiri kaku, dihantam bayangan ayahnya, diam, tapi air matanya mengalir deras, seolah jiwanya merintih minta dimaafkan.

Ali dan Vina terdiam, bahkan teman-teman mereka, yang mempunyai kemampuan kendali diri, dikalahkan oleh wabah itu.

"Apa ini semua nyata?" Vina bertanya.

"Nyata," Harimau itu menimpali. "Inilah perang jiwa. Kalian bukan hanya bertarung untuk dunia, tapi juga untuk mereka. Untuk setiap orang yang pernah mempercayai kalian, yang kalian cintai. Bonding bukan tentang menyatu karena cinta. Tapi menyatu karena luka yang kalian bagi."

 

Malam semakin tinggi, hanya soal waktu, Fajar akan tiba di ufuk timur, jika mereka gagal, Fajar itu tidak lagi menyambut manusia yang terbangun dari tidurnya, tapi menyambut kegelapan jiwa dari tidur panjangnya.

Mereka mengepalkan jemari, dengan semangat baru, didorong oleh keinginan mereka untuk menyelamatkan orang-orang yang mereka cintai, Ali dan Vina kembali mencoba membentuk bonding.

Mereka kembali duduk bersila, dengan tangan yang saling menggenggam, mereka berkonsentrasi. Perlahan, tanah berguncang ringan, sepertinya akan berhasil, benar saja, dari dalam tanah, muncul pola bercahaya, menghubungkan kaki Ali dan Vina seperti akar yang saling menjalar. Tubuh mereka memancarkan dua warna cahaya: biru dari Ali, merah muda dari Vina. Cahaya itu berputar, menyatu, lalu perlahan membentuk sebuah lambang: dua lingkaran bertumpuk, dengan satu garis di tengahnya, dari tengah lingkaran, cahaya ungu muda bersinar.

GRRRRAAAAAUUUUUUWWW! Harimau itu meraung sekencang-kencangnya, suaranya menggema, merobek langit malam.

Harimau itu mengangkat satu kaki depannya, lantas, cahaya ungu muda mengambang di udara.

GRRRRAAAAAUUUUUUWWW! Sekali lagi, Harimau itu meraung, dengan satu hentakan, Slash, slash, dua larik cahaya putih melesat menghantam cahaya mereka. Cahaya itu terpental jauh, menembus awan tipis yang menggantung. BLAAAR! BLAAAR! Ledakan keras terdengar, hutan bergetar hebat, pepohonan tumbang.

Ali dan Vina terbanting ke belakang, sejenak, mereka kembali duduk bersila.

Tubuh mereka kian bercahaya, sementara itu, di atas sana, cahaya ungu muda itu pecah, menyebar membentuk jaring. Siap menelan kegelapan jiwa, laksana Fajar yang menutup malam. Seketika, langit dipenuhi teriak kesakitan, tangis yang memilukan, tawa yang menakutkan. Serta berbagai bahasa luka, pintu yang dibanting, gelas yang dilempar, hingga suara seperti orang dicekek. Ali dan Vina bergidik, hendak berlari sekencang mungkin. Tapi mereka harus bertahan, kalau tidak bonding itu akan terputus, dan dunia akan hancur.

 

Dengan cepat, ribuan luka yang terjebak menyerang, berusaha merobek jaring cahaya.

ARRRGH, Ali dan Vina mengerang kesakitan, tubuh mereka bergetar hebat.

"Ali, Vina, fokus, lawan rasa sakit itu," Harimau berseru. Ali dan Vina mengangguk, kembali berkonsentrasi, menyulam jaring cahaya yang nyaris retak.

Perlahan, jaring cahaya itu kembali utuh. Ribuan jiwa yang terjebak, kembali terkunci.

Tapi ribuan luka itu tidak menyerah, mereka terus mencakar, dengan kuku mereka yang diselimuti kabut hitam.

Tapi gagal, kini jaring cahaya itu jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Namun siapa sangka, ibarat pepatah, semakin tinggi pohon, maka akan semakin kencang angin yang menerpanya. Entah apa yang terjadi, udara terasa dingin menusuk tulang. Jaring cahaya yang sebelumnya berwarna ungu muda, tiba-tiba saja menghitam, seperti ada yang menumpahkan tinta pekat di atasnya.

Lantas, dari balik kegelapan, di balik jaring cahaya ungu yang membentang di langit, muncul sosok bayangan. Bukan hitam, bukan pula putih, tapi gelap,. Seperti malam yang kehilangan arah. Perlahan, sosok itu turun, melayang, tak bersayap, namun auranya terasa menghimpit jiwa. Matanya menyala merah darah, tapi bukan amarah yang terlihat, melainkan duka yang membatu.

"Manusia," sosok itu bicara, suaranya seperti bisikan yang menggema di rongga hati, "Kau pikir luka hanya milikmu?"

Ali terkesiap, Vina menatap langit dengan napas tercekat. Harimau di samping mereka menunduk. Bulu-bulunya berdiri tegak,  Harimau itu menggeram pelan, bukan karena marah, melainkan karena ia mengenali sosok itu.

"Aku pernah sujud paling lama," sosok itu melanjutkan. "Aku pernah mencintai-Nya lebih dari yang mampu kalian bayangkan. Tapi ketika kalian diciptakan, aku tidak lagi dipandang. Tanah liat itu, yang kini duduk di hadapanku, merebut tempat yang telah kuisi dengan ribuan tahun ketaatan."

Sosok itu membuka tangannya, lantas dari telapaknya muncul ribuan bayangan kecil, anak-anak manusia, menangis, meronta, ditinggalkan, dipukul, diperkosa, dipermalukan.

"Dan beginikah hasilnya? Makhluk kesayangan-Nya? Lihat luka yang kalian tebar! Aku tak membenci kalian karena kalian lebih dicintai, aku membenci kalian karena kalian tidak tahu caranya menjaga cinta itu."

 

Persis diujung kalimatnya, sosok kelam itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. BLAAAR! Mendadak langit terbelah, jaring cahaya mereka luruh menjadi debu, digantikan kegelapan malam yang mencekam. Lantas turun pasukan-pasukan luka, makhluk-makhluk berwujud bayangan manusia, tapi wajahnya retak, matanya kosong, dan mulutnya menjerit tanpa suara. Mereka turun seperti hujan panah, menghantam bumi dan membakar tanah tempat mereka mendarat.

"MAKANLAH MEREKA!"

sosok itu berseru lantang. Suaranya kini penuh murka. "BIARKAN MEREKA MERASAKAN APA YANG AKU RASAKAN!"

Ali dan Vina berdiri, Bonding mereka kini bergetar hebat, seperti tali yang ditarik dua kutub dunia. Harimau mengaum dan melompat ke tengah pertempuran, menerkam satu per satu bayangan luka, cakar dan taringnya menebas ilusi dan kenyataan sekaligus.

"Ali! Fokus ke jaring, biar aku yang mengurus pertahanan di bawah," seru Vina tegas.

Ali mengangguk, namun, belum sempat Ali menyulam jaring, sesosok makhluk luka menghantam tubuhnya, BRAAAK, Ali terpental, bayangan itu punya wujud seperti ibunya, menatapnya dengan benci.

"Kau tidak bisa menyelamatkan siapa-siapa, Nak. Bahkan aku kau biarkan begitu saja."

Ali terdiam.

"AL! ITU BUKAN IBU MU YANG NYATA!" Vina berteriak. Lantas mengayunkan tangannya, dan gelombang cahaya merah muda meledak, menghempaskan ilusi itu.

Tak ingin memberi kesempatan walau sedetik, sosok kelam itu melesat turun. Tangannya berubah menjadi bilah-bilah luka yang tajam. Slash, menghantam Harimau, membuat tubuhnya terpental puluhan meter dan menghantam bebatuan. Harimau itu mengerang, berdarah, tapi masih berdiri.

"AKU SUDAH MATI SEBELUM KALIAN HIDUP! AKU ADALAH KECEWA PERTAMA, PENGKHIANATAN PERTAMA, PENOLAKAN PERTAMA!"

Ali berdiri, darah mengalir di pelipisnya. Ia membuka tangannya, dan dari jaring di langit, cahaya biru pekat turun seperti pedang.

"Aku tidak akan membunuhmu," Ali berseru. "Aku akan mendengarkanmu, sembari menghancurkan semua bentuk manipulasi yang kau bawa."

Sosok kelam itu tertawa bahak. "Kalau begitu, bertarunglah sambil mendengarku! Aku ingin kau merasakan apa yang dulu aku rasakan. Setengah percaya, setengah hancur."

Dengan cepat, pertempuran itu pecah. Slash, slash, bum, BUMM, Ali dan sosok kelam bertukar hantaman dan tebasan di udara, setiap serangan bukan hanya fisik, tapi juga serpihan memori, kenangan, dan trauma. Di bawah, sementara itu, Vina menciptakan kubah perlindungan bagi anak-anak dan penduduk yang terseret ke pusaran masalah. Setiap kali ia melemah, suara Ali memanggilnya lewat ikatan jiwa.

Harimau, dengan satu matanya yang mulai buram, bergabung lagi, melompat ke punggung sosok kelam, mencengkeramnya dan melemparkannya ke tanah.

 

Ali mengejarnya, menusukkan pedang cahaya biru ke dada makhluk itu.

Makhluk itu tersenyum, "kau masih belum benar-benar mengenal lukamu sendiri." Lantas, BUUUM! Tubuh sosok kelam meledak menjadi ribuan serpihan luka yang memasuki tubuh Ali dan Vina bersamaan. Teriakan mereka menggema ke segala penjuru. Perlahan, Dunia mulai retak.

Retakan di langit melebar, dunia di sekeliling Ali dan Vina mulai pecah seperti kaca, warna langit berganti cepat, merah marun, biru gelap, putih menyilaukan, sebelum akhirnya berubah hitam. Tubuh mereka menggigil, bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak luka yang tak sempat diurai, menyatu dalam daging mereka.

Vina menggenggam tangan Ali yang mulai retak, seperti tanah gersang. Napasnya tercekat. "Kita, kalah ya?"

Ali menggeleng pelan.

Sesaat sebelum mereka ditelan kegelapan, udara mendadak berubah. Angin berhenti, suasana hening., bayangan luka mendadak diam.

Lantas, dari kejauhan, terdengar suara yang memecah sunyi.

Sebuah suara seruling. Suara yang lembut, namun dalam, seperti aliran sungai. Nada itu datang dari balik kabut, satu nada yang memecah seluruh kegilaan dunia.

Dari balik kabut, muncul seorang gadis, langkahnya ringan tapi mantap. Rambutnya tergerai panjang, wajahnya bersinar remang dalam pantulan luka-luka langit. Di tangannya, tergenggam sebuah seruling bambu tua, diukir halus dengan ekor naga melingkar, ujungnya sedikit retak, tapi masih memancarkan cahaya perak.

Melihat hal itu, Ali dan Vina berseru, “Vitaaa?”

Vita tersenyum, lalu ia kembali   qmeniup seruling itu.

 

Nada itu menggetarkan hati paramakhluk luka. Bayangan-bayangan yang semula mengamuk kini mulai bergetar, sebagian menangis, sebagian memeluk lutut.

Sosok kelam yang tadi meledak kembali muncul dalam wujud kabut tebal, mengerang, menggeliat, mencoba menelan lagu itu. Tapi lagu itu tak bisa dihancurkan. Itu bukan mantra. Itu mengingat tentang cinta pertama dari alam semesta.

Ali dan Vina saling tatap, meski tubuh mereka koyak, mereka tahu: inilah saatnya.

Dengan sisa energi, mereka berdiri, tangan menyatu, dan mulai kembali menyulam jaring, tapi kali ini bukan hanya cahaya ungu muda, melainkan dari nada. Setiap simpul jaring lahir dari harmoni: satu dari Ali, satu dari Vina, satu dari Vita, satu dari harimau yang mengaum lembut di jarak jauh.

Jaring itu tak lagi hanya menyegel luka. Ia membaca dan merangkulnya.

Makhluk-makhluk luka satu per satu larut dalam cahaya, berubah menjadi kelopak bunga, sebelum akhirnya menghilang bersama angin. Dunia mulai menyatu kembali. Retakan-retakan menghilang.

Sosok kelam mengerang untuk terakhir kalinya. "Apa ini rasanya dimaafkan?"

Sekejap, tubuhnya larut, menjadi bisikan terakhir, dan menghilang.

Saat segalanya tenang, Vita menurunkan serulingnya. Ia mendekat, menyentuh pundak Ali dan Vina.

“Terima kasih sudah tidak menyerah pada dirimu sendiri,” ucapnya lirih.

Vita tersenyum, dan dari serulingnya, satu kelopak putih terjatuh, melayang pelan, mendarat di tanah bekas pertempuran.

Sementara itu, di atas sana, semburat merah perlahan muncul, pagi menyapa, menggantikan kegelapan malam yang gulata.

 

Tamat..

Penulis: Akbar Nugroho

Saluran WhatsApp: Manusia Silver

Admin Pemosting: Pendekar Kelana

 


Posting Komentar