RUMAH, bagian 1

Table of Contents

RUMAH, bagian 1

 

"Hai, kalian tentu sudah membaca serial CABANG SEMESTA, sebuah cerita, yang menggambarkan perjalanan Ali, melintasi dimensi realitas. Sampai akhirnya, Ali, bersama kekasihnya, Vina, berhasil kembali ke dunia mereka, melalui bantuan dari sang kakek, leluhur Ali dari jauh, dari garis terbaiknya. Tapi, siapa sangka, dibalik happy ending yang terjadi, terlepas Ali yang pada akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaan terbesarnya, tentang peran yang Tuhan berikan secara personal, yang menjadikan sebab dirinya diciptakan, perjalanan itu menimbulkan implikasi serius pada diri Ali. Dan di sinilah cerita itu dimulai.

Pagi kesekian di desa KKN, tepat tiga hari selepas kepulangan.

Di rumah salah seorang warga, semua peserta KKN tengah berkumpul di beranda rumah, terlihat Azka, Ali, Vina, serta teman-teman yang lain.

 

Tapi, pagi itu, ada yang berbeda, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Azka, yang selalu riang, seketika terlihat murung, tangannya terkepal, seakan tengah menahan berbagai emosi yang terpendam, yang hanya soal waktu akan meledak, benar saja.

BRAK! "Cukup," Azka berteriak, menepuk meja, tatapannya menyiratkan berbagai perasaan, sedih, marah, capek, semua berkumpul, mengambil wujud air mata yang menetes.

"Kalian pikir, aku tidak capek, aku tidak hanya mengerjakan tugas KKN, tapi juga skripsi, tapi kalian, malah membebankan nyaris semua tugas kepadaku."

"Azka, tenang dulu," Adi, yang sebagai ketua kelompok itu berbicara. "Kami tidak bermaksud membebanimu, tugas kita sama, aku sudah membaginya secara adil."

Azka menatapnya tajam, "Adil katamu, heh, aku bekerja nyaris dua puluh empat jam, membantu para warga untuk menyiapkan menu makan bergizi geratis. Sedangkan kalian, ada yang bertugas di pagi hari, ada yang hanya di sore hari, mengajari anak-anak mengaji."

Situasi kian panas, seruan tertahan terdengar di antara para mahasiswa.

 

"Heh Azka, jangan kira kamu saja yang capek, kami juga. Aku, bersama yang lain, juga membantu warga untuk menyiapkan makan bergizi geratis," salah seorang teman perempuan menimpali.

Mendengar hal itu, Azka bangkit berdiri, berjalan mendekatinya, lantas, zap, menjambak rambutnya yang terurai.

"Heh, kamu bicara seperti itu, apakah kamu juga mengalami apa yang aku alami? Apa kamu juga mengerjakan skripsi sepertiku? Tidakkan? Jadi jangan sok mengajariku tentang rasa lelah!"

Suasana semakin tidak terkendali, yang lain berusaha melerai, namun Azka kian kuat menjambak rambutnya, membuat wanita itu meringis kesakitan. Tapi, di tengah situasi itu, seseorang berbicara, tenang, namun seakan mampu mengangkat semua luka, menghilangkan rasa sakit, serta memadamkan api yang berkobar.

"Azka, Adi, Amel, Putri, Candra, tenang," Ali berbicara, tatapannya teduh, menyisir setiap wajah yang menyimpan berbagai luka.

 

Persis diujung kalimat itu, seketika Azka melepas cengkraman, wajah-wajah yang tadinya tegang, berubah, seperti orang tertidur, lantas bangun, dengan energi yang kembali pulih.

Tapi, diwaktu yang sama, Ali yang duduk disalah satu bangku, mendadak tersungkur. "Aaalll," Vina berseru panik, menahan tubuh Ali yang bersiap menghantam lantai.

Kepala-kepala menoleh, ikut menatap Ali yang tampak lelah, tidak hanya itu, Ali juga terlihat seperti kesakitan. "Al, ayo, aku bawa kamu ke dalamya, biar kamu bisa istirahat. Kalian lanjutkan saja, biar Ali aku yang urus," Vina menatap teman-temannya, memapah Ali yang nyaris kehilangan tenaga.

Setibanya di dalam, "Al, kamu kenapa?" Vina bertanya, wajahnya cemas. "Sakit Vin," timpalnya lirih, nyaris tidak terdengar.

"Vina mengerutkan kening. "Maksud kamu apa Al? Apanya yang sakit?"

Sejenak Ali terdiam, napasnya tersengal. "Tubuhku, semuanya, persendianku seperti ditarik, rasanya sakit sekali."

 

Vina terdiam, lantas menuntun Ali ke tempat tidur, napasnya masih tersengal, tangan Ali terasa dingin. "Al, sebenarnya apa yang terjadi? Ini pasti bukan hanya sakit biasa?"

Ali memejamkan mata, menahan denyut nyeri yang menjalar di setiap persendiannya. "Entahlah, aku menyebut nama mereka, dan aku merasa semua luka mereka memasuki diriku."

Vina termangu, berusaha mengingat kembali saat Ali menyebut satu per satu nama teman-temannya di tengah keributan yang terjadi. Entah bagaimana caranya, disaat Ali menyebut nama mereka, disaat itu juga suasana berubah, seperti energi negatif yang menggumpal pecah, hilang entah ke mana.

"Apa maksud kamu? Kamu menyerap luka mereka?"

Ali mengangguk pelan, "aku tidak tahu bagaimana caranya, yang jelas, saat aku sebut nama mereka, rasanya seperti aku membuka pintu. Pintu ke dalam hati mereka, dan semua luka, semua kemarahan, kesedihan, seketika masuk ke tubuhku."

Vina memeluk Ali erat, matanya sembap. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa harus kamu yang menanggung semua itu, Al?"

Ali tersenyum tipis. "Karena ini peranku sekarang, Vin. Kalau aku bisa meredakan api dalam hati orang lain, meski itu berarti tubuhku terbakar perlahan, aku akan tetap memilihnya.

"Pantas, jika waktu itu kakekmu mengatakan, bahwa tugasku bukan menyembuhkanmu. Melainkan menjadi rumah, ketika dirimu lelah, dan membutuhkan tempat untuk pulang."

"Apa kamu menyesal? Vin?" Ali menimpali.

Vina menggeleng, tersenyum, "tidak ada sedikitpun penyesalan dihatiku Al, lagi pula, kakekmu juga mengatakan, bahwa peran kita itu saling melengkapi, saling menjadi rumah, saling memberi ruang."

Ali balas tersenyum, perlahan, napasnya mulai teratur.

 

 

Vina masih memeluk Ali, namun kali ini pelukannya lebih tenang. Ia merasakan detak jantung Ali yang mulai teratur.

"Aku masih tidak mengerti, Al, kenapa kakekmu memilih aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan sempat ingin menyerah waktu itu, saat kita masih di lintas semesta."

Ali membuka matanya perlahan, tatapannya menembus langit-langit kamar, seolah melihat kembali wajah tua yang penuh rahasia dalam ingatannya.

"Karena kamu satu-satunya yang tidak pernah berusaha menyembuhkan, Vin."

Vina mengerutkan kening, "maksud kamu?"

"Orang-orang biasanya panik kalau lihat aku terluka. Mereka sibuk mencari cara menutup lukanya, menenangkanku, memberi nasihat. Tapi kamu, kamu justru diam. Duduk di sampingku, memegang tanganku, dan membiarkan aku merasa sakit tanpa menghakimi."

Ali menarik napas dalam-dalam. "Dulu, Datukku pernah mengatakan, ada luka yang tidak membutuhkan obat, cukup tempat untuk bernapas."

Vina terdiam, air matanya menetes.

"Dia tahu, Vin," Ali melanjutkan, "bahwa kamu punya kekuatan yang tidak diajarkan di buku manapun. Kekuatan untuk tidak larut dalam luka orang lain, tapi juga tidak menolaknya. Kamu mendengarkan tanpa menyerap. Kamu hadir tanpa terjebak. Dan itulah yang membuatmu menjadi rumah."

Vina menatap Ali lama, lantas bergumam lirih, "Kalau begitu, siapa yang akan jadi rumah bagiku?"

Ali tersenyum, lemah tapi hangat. "Kita saling jadi rumah, Vin. Karena rumah bukan bangunan, melainkan perjanjian dua jiwa yang tidak saling meninggalkan, bahkan saat dindingnya retak."

 

Ali diam sejenak, "kamu tahu, dulu, datukku pernah mengatakan sesuatu, tentang seseorang yang akan aku temui di masa depan, apakah kamu mau mendengarnya?"

Vina mengangguk, Ali menarik napas perlahan, siap bercerita.

Kembali ke kejadian ketika Ali kecil, usia lima tahun.

Sore di desa bukit, di bawah langit senja, di teras rumah tua.

Angin sore menggoyang dedaunan, menebar wangi tanah yang baru saja diguyur hujan. Ali kecil duduk di pangkuan datuk, ia menatap kosong ke horizon, tempat langit dan bumi bersatu di dalam kabut jingga.

"Tuk, kalau nanti aku sakit, siapa yang akan menyembuhkanku?"

Sang Datuk tertawa kecil, mengusap kepala cucunya. "Tak semua sakit harus disembuhkan, nak, ada yang cukup diistirahatkan, sampai pulih dengan sendirinya."

Ali mengernyitkan dahi, "tapi kalau aku nggak kuat?"

Datuk menghela napas, panjang dan berat, seperti menimbang sesuatu yang sudah lama disimpan. "Kelak, akan ada seseorang yang jadi rumahmu. Bukan penyembuh, melainkan tempatmu untuk pulang, saat seluruh dunia terasa asing."

"Siapa, Kek?"

Datuk itu terdiam, ia menatap langit, untuk kemudian  mengangguk pelan, seperti mendengar sesuatu yang menyelinap di antara desau angin.

"Anak itu, dia tidak akan menangis karena lukamu, tapi akan duduk diam di sampingmu, sampai tangismu reda. Ia tidak akan mencoba membongkar isi hatimu, tapi akan menjaganya tetap hangat saat kamu ingin membuka sendiri. Ia akan terlihat rapuh, tapi jiwanya sudah pernah patah, lantas tumbuh lagi, lagi, dan lagi. Itulah alasan kenapa dia kuat, karena ia tahu rasa sakit, tapi tidak menyimpannya."

Ali kecil itu mengangguk, tak sepenuhnya mengerti. Akan tetapi, di malam itu, ia bermimpi tentang seorang gadis yang berdiri di tengah badai, tubuhnya kecil, namun di sekitarnya, angin menjadi tenang.

 

Kembali ke masa sekarang.

Lengang, hanya terdengar jarum jam yang berdetik, serta sayup percakapan teman-teman mereka, yang masih asyik mengobrol di halaman depan.

"Aku tidak tahu Vin, kenapa baru sekarang aku ingat. Tapi hari ini, semua terasa terang."

Ali menoleh menatap Vina, seakan hendak memastikan, bahwa ia benar-benar nyata, bukan sekadar bayangan masa kecil.

"Kamu adalah gadis yang aku lihat di dalam mimpiku waktu itu. Berdiri di tengah badai, tubuhmu kecil, tapi entah kenapa, dunia di sekitarmu menjadi tenang."

Vina menggenggam tangan Ali erat, matanya berkaca-kaca. Bukan karena pujian, tapi karena hatinya merasa dilihat, benar-benar dilihat. Tanpa topeng. Tanpa syarat.

"Kalau begitu," ujar Vina lirih, "mungkin aku juga sudah dipersiapkan. Untuk menjadi rumahmu, bahkan sebelum kita saling mengenal."

Ali tersenyum, mengangguk pelan, "dan kamu tidak perlu menjadi siapa pun, untuk itu, Vin. Cukup jadi kamu, yang diam tapi hadir. Yang rapuh tapi tetap berdiri."

Pelan-pelan, Ali mengangkat tangan Vina, menyentuhkan tangan itu ke dadanya. "Lihat? Detaknya sudah stabil, itu karena kamu di sini."

Vina tersenyum, meski air mata masih membasahi pipinya. Hari itu, mereka tidak saling menyelamatkan. Mereka hanya saling hadir. Dan boleh jadi, itu jauh lebih dari cukup.

 

Tak terasa, malampun tiba. Hari itu, terlepas dari apa yang terjadi, semua kegiatan berjalan lancar. Azka dan teman-teman, kembali bersemangat, seakan energi mereka baru saja pulih.

Sementara itu, Ali, dia dalam keadaan baik, rasa sakit yang ia dapat setelah menyerap berbagai luka yang tidak terlihat, sudah hilang sepenuhnya.

Kini, ia tengah berjalan di sekitar penginapan, menikmati angin malam yang memeluk lembut, serta menatap langit yang dihiasi cahaya bintang.

Ali menarik napas dalam, berbicara kepada diri.

Aku tidak lagi merasa terjebak di dalamnya.

Ada pelukan yang tidak menawarkan solusi, tapi memberiku ruang untuk bernapas. Ada genggaman yang tidak menarikku dari gelap, tapi menemaniku sampai cahaya datang sendiri. Dan aku sadar, mungkin inilah yang dimaksud kakek: rumah bukan tempat tanpa luka, tapi tempat di mana luka tidak harus disembunyikan.

Vina tidak pernah berkata bahwa ia kuat, tapi setiap kali aku runtuh, dirinya tidak ikut roboh. Ia diam, tapi diamnya bukan hampa, melainkan lapang. Bagaikan tanah yang bersedia menjadi tempat pohon sakit bertumbuh kembali.

Dan kini aku tahu, bahwa jiwa pun punya kemampuan regeneratif. Tapi tidak semua bisa memilikinya, hanya mereka yang pernah patah, tapi memilih tidak menjadi tajam. Mereka pernah kosong, tapi tidak mengisinya dengan balas dendam.

Vina adalah rumahku. Tapi lebih dari itu—ia adalah musim semi yang datang setelah musim dingin yang panjang, bukan dengan sorak sorai, tapi dengan bunga-bunga kecil yang tumbuh dalam diam.

Ali tersenyum, menghela nafas lega, lalu berangkat kembali ke penginapan, bersiap untuk tidur, dan menyambut hari esok dengan wajah yang cerah.

Tapi, esok tetaplah esok, hari yang menyimpan seribu misteri. Tanpa disadari, perjalanan mereka dalam melintasi cabang semesta, berakibat fatal, karena telah terjadi keretakan, di salah satu lapisan Dimensi Semesta. Membangkitkan makhluk-makhluk yang tidak diinginkan, menguasai Inner Child, sosok anak kecil, yang menjadi bagian dari diri manusia.

 

Bersambung.

Penulis: Akbar Nugroho

Saluran WhatsApp: Manusia Silver

Admin Pemosting: Pendekar Kelana

 

Posting Komentar