RUMAH, bagian 2: PANDEMI JIWA

Table of Contents

Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit mendung, meski tak ada awan. Seolah warna langit ragu untuk hadir.

Ali terbangun, matanya mengerjap, menatap sekitar, tidak ada teman-temannya. Sepertinya ia bangun kesiangan. Perlahan, Ali bangkit dari tempat tidur, lantas membuka pintu penginapan, seketika, Ali merasakan sesuatu yang aneh. Suasana terasa Sunyi, bukan sunyi yang menenangkan, melainkan sunyi yang mencekam.

Ali berjalan keluar, satu per satu wajah yang dikenalnya menunduk lesu.

Azka.

Raihan.

Semua mahasiswa dan warga sekitar.

Bahkan anak kecil di seberang jalan.

Semua murung.

Mata mereka kosong, langkah mereka lamban.

Seolah kehidupan telah keluar dari tubuh mereka, dan hanya menyisakan cangkang yang berjalan dengan kebiasaan.

Ali melangkah menghampiri Azka.

"Kamu kenapa?"

Azka menoleh. Tapi tatapan itu bukan Azka yang dikenal.

Tatapannya datar, "Capek ya… hidup ini. seperti tidak ada artinya," Azka bergumam lirih.

Ali terkesiap, mundur satu langkah.

Napasnya tercekat.

Dia mengenal kalimat itu, kalimat yang pernah Ali ucapkan ketika dulu ia hampir menyerah.

Ali menyadari, ini bukan sekadar suasana hati, melainkan wabah.

Kesedihan, amarah, dendam, selama ini hanya tinggal dalam jiwa, kini mereka keluar. Mereka berjalan di antara manusia. Tidak terlihat, tapi bisa ia rasakan. Dan mereka masuk melalui celah yang paling rapuh, inner child.

Anak kecil dalam diri manusia—yang pernah menangis, ditolak, ditinggalkan.

Mereka tidak kuat, dan kini, makhluk-makhluk itu menjanjikan satu hal,

Bahwa aku akan melindungimu. Tapi kamu harus menyerahkan kendali dirimu ini kepadaku.

Ali menatap sekitar, terlihat olehnya wajah dari orang-orang yang mulai kehilangan cahaya.

Bukan karena diserang, melainkan karena melepaskan.

Menyerah kepada rasa yang telah lama ditahan.

Sementara itu, Vina berjalan mendekati Ali, "Al," ucap Vina lirih. Ali menoleh, menatap wajah Vina yang masih sama, tidak terlihat murung seperti yang lain. Ali menghela napas lega, tapi separuh hatinya merasa takut.

Bukan pada makhluk luar, melainkan terhadap apa yang akan dilakukan manusia saat jiwanya dikuasai oleh rasa yang tidak disembuhkan.

 

 

Ali menggenggam tangan Vina erat, "ini bukan lagi tentang semesta.  Tapi tentang kita, tentang manusia, dan jika kita tidak bertindak, kita akan kehilangan semua. Bukan karena mereka dibunuh, tapi karena mereka membunuh diri mereka sendiri."

 

Vina menatap jauh ke depan, "mereka tidak ingin mati, Ali. Tapi kesedihan itu yang tidak  ingin dilupakan." Ali mengepalkan tinju, "tidak, aku harus menyelamatkan mereka."

"Tapi Al," Ali mendengus, "tidak ada lagi waktu untuk berdebat, Vin." Dengan cepat, tanpa bisa dicegah, Ali memejamkan mata, berusaha memanggil segenap kekuatannya. Splash, seketika, di hadapan Ali, terlihat semua nama manusia, nama-nama itu hanya bisa dilihat Ali. Lantas, Ali mulai menyebut satu per satu dari nama-nama mereka.

Tubuhnya bergetar, menyambut anomali badai dari berbagai energi negatif, Kesedihan, kemarahan, dendam dan kebencian, mengalir deras menghantam jiwanya.

Sementara itu, Vina, ia berlarian ke sembarang arah. Berusaha mencegah teman-teman dan warga sekitar yang mulai kehilangan arah. Ada yang berlari menuju jembatan desa, ada yang berlarian ke rumah, mengambil pisau,silet, serta berbagai peralatan demi membinasakan diri. Situasi semakin tidak terkendali, Vina mulai tersengal, keringat bercucuran. Ini sedikit rumit, ia tidak bisa menggunakan kemampuan pemulih jiwa itu sepenuhnya. Kemampuan itu akan bekerja secara maksimal, hanya kepada orang yang mempunyai ikatan bonding dengannya. Sedangkan Ali, kondisinya tidak kalah buruk. Wajahnya pucat, kulitnya menghitam, kepalanya dipenuhi suara rintihan, teriakan amarah, serta tawa yang menggema, kabut tipis, berwarna hitam menyelimuti tubuhnya. Hanya soal waktu, kesadarannya akan hilang, digantikan oleh emosi kegelapan.

Ali terdiam, berusaha berpikir cepat. "Wahai, Ali terkesiap. Baiklah, mungkin ini saatnya untukku menggunakan teknik itu. Sebuah teknik untuk melepaskan energi negatif yang bukan milikku.

 

Ali berdiri, memasang kuda-kuda. Tangannya terulur ke bawah, persis menghadap bumi.

Ia memejamkan mata, berkonsentrasi, perlahan, Ali mulai menarik napas. Merasakan tiap udara yang memasukki tubuhnya.

Splash, seketika, cahaya biru menyelimuti tubuhnya, membentuk sebuah perisai. Seperti teknik Grounding, tapi dalam level yang berkali lipat lebih menakjubkan.

"INI BUKAN MILIKKU! AKUU LEPASKAAN!"

Ali berteriak, suaranya menggema di langit-langit desa. PYAR, tubuh Ali kian bercahaya, seakan hendak menelan kegelapan jiwa. Namun kali ini, cahaya itu tidak hanya membentuk perisai, tapi menghujam tanah, menjalar kesekitar, seperti akar pohon.

Ali kembali berkonsentrasi, menyebut nama setiap jiwa yang terluka. Kini, kondisi Ali lebih baik, yang tidak baik itu mereka.

Satu jam berlalu, Ali terus menyerap setiap luka, rasa sakit dan kecewa. Sebagian berhasil pulih, tapi, masalah belum selesai. Wabah itu terus menjalar, jangkauannya semakin luas. Ditambah lagi, sebagian dari mereka yang berhasil pulih, kini kembali diserang wabah jiwa, dan kali ini lebih ganas dari sebelumnya. Dalam sekejap, mereka kehilangan kesadaran, kembali berusaha membinasakan diri.

Sementara itu, Ali mulai kehabisan tenaga. Napasnya tersengal, cahaya ditubuhnya perlahan redup. Sebelum akhirnya padam, menyisakan Ali yang terduduk lemah. Ali berusaha bangkit, kakinya bergetar, Vina berlari mendatangi Ali. "Cukup, Al," Vina berseru, wajahnya khawatir.

 

Ali menoleh, wajahnya pucat, bibirnya bergetar. "Tidak Vin, aku tidak bisa berhenti. Mereka masih memanggil…"

Persis diujung kalimatnya, seketika tanah yang  mereka pijak bergetar. Akar-akar cahaya biru yang menjalar dari tubuh Ali meliuk, untuk kemudian menghitam, seperti dibakar dari dalam. Wabah itu mulai memanipulasi teknik grounding milik Ali, membalikkan energi penyembuhan menjadi pusaran luka yang lebih dalam.

Melihat hal itu, sontak Vina menjerit, "ALII! Berhenti! Kamu akan jadi pusat dari semua ini kalau terus memaksakan diri!"

Ali terhuyung, tapi tetap berdiri. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar, namun tangannya tetap terulur ke tanah. Ia menolak menyerah. Meski teknik Grounding-nya telah melemah, meski cahaya biru di tubuhnya telah redup, ia tetap menyebut nama-nama yang muncul di benaknya, satu per satu. "Ini tanggung jawabku…," Ali menimpali, kesadarannya mulai menipis. Kabut hitam kian pekat, menari di sekitar tubuhnya yang kini menghitam. Suara-suara itu kembali, rintihan, jeritan, dan tawa mengerikan, menyerang jiwanya tanpa ampun. Perlahan, jiwa Ali mulai ditelan kegelapan. "Ali, hentikan! AKU MOHON," Vina berteriak, berusaha menyadarkan Ali. Ali mengabaikannya. "ALII! BERHENTI! Kalau tidak kamu bisa mati," Vina menjerit, tapi Ali tetap diam, terus menyerap semua luka, menampung emosi-emosi yang bukan miliknya. Ia ingin menyelamatkan semua orang, meski harus mengorbankan dirinya.

Melihat Ali yang hanya diam tak menjawab, Vina maju satu langkah, lantas, PLAK, menampar wajah Ali. Seketika Ali tersungkur, jatuh berdebam di tanah. "Bukan tugasmu menanggung semuanya sendirian. Luka itu bukan milikmu. Kau hanya jembatan, bukan penyelamat mutlak," Vina berseru, menatap Ali yang tergeletak.

 

"Itu benar, Al, bukan tugasmu menanggung semuanya sendirian," seseorang menimpali.

Ali membuka mata, terlihat empat orang yang kini berdiri di sampingnya. Mereka semua teman-teman Ali. Si kembar R, Rosa, Rosie, serta Vita dan Jack.

"Kalian baik-baik saja?" Ali bertanya, yang ditanya serentak mengangguk. Vita melambaikan tangannya pelan, "sebenarnya, aku nyaris terpengaruh, karna entah kenapa, tadi aku mendadak bet mood, padahal ini belum masanya. Kalaupun iya, tidak mungkin secepat ini, apa lagi fase itu baru saja selesai kemarin."

Ali mengerutkan kening, memandangi Vita dengan tatapan yang penuh tanda tanya. "Ehm," Ali menoleh, menatap Vina yang kini melotot ke arahnya.

"Vin, tadi yang dimaksud Vita apasih? Fase, bad mood."

Vina mendengus, kadang, semakin sedikit yang kamu tahu, itu lebih baik.

 

"Iya Al, itu benar, tidak hanya Vita, tapi aku, Jack, dan jugasaudaraku, Rosa," kali ini Rosie berbicara. "Tapi semua baik-baik saja, yeah, kami sudah menghadapi puluhan orang dengan permasalahan rumit, dan kami sudah terlatih. Memodifikasi alam bawah sadar dan pikiran orang lain saja kami bisa, apa lagi diri kami sendiri," Rosie menyeringai.

Rosa menatap Ali lamat-lamat, mengabaikan saudaranya yang banyak gaya. "Kami sudah melihat semuanya Al, itu gila, kalau tidak salah, seperti teknik Grounding, tapi yang kamu lakukan itu, mempunyai level yang berkali-kali lipat lebih tinggi."

Ali mengangguk, "tapi, sepertinya teknik Grounding saja tidak cukup, wabah itu berhasil memanipulasi teknik Grounding milikku, sehingga aku menyerap luka lebih banyak, membuat luka yang aku serap tidak bisa dikembalikan. Aku yakin, ada sesuatu yang menjadi awal dari semuanya, dan aku harus mencari sumber masalahnya.

Vina menggenggam tangan Ali, “aku ikut Al,” Ali mmengangguk.

"Teman-teman semua, aku percaya kalau kita tidak sendiri. Selama aku dan Vina pergi, tolong bantu mereka. Kerahkan segenap kemampuan kalian, ini bukan profesi, apa lagi tugas kuliah. Ini adalah konsekuensi terhadap ilmu yang kita miliki, konsekuensi dari pilihan yang kita buat beberapa tahun lalu. Ini adalah peran, peran yang mengharuskan kita untuk memilih, diam menelan kehilangan, atau maju untuk misi bantuan. Hubungi teman-teman kita, orang-orang yang tersisa, semua dibutuhkan."

Ali berbicara, intonasinya tegas. Serempak, si kembar R, Vita dan Jack mengangguk mantap. Menerima peran itu secara murni, tidak mengharapkan nilai, pun tidak berharap popularitas.

Sementara itu, Ali dan Vina beranjak pergi, siap mencari jawaban.

 

Bersambung..

Penulis: Akbar Nugroho

Saluran WhatsApp: Manusia Silver

Admin Pemosting: Pendekar Kelana

 


Posting Komentar