RUMAH, bagian 3
Ali dan Vina berjalan meninggalkan kekacauan. Pagi itu, Matahari bersinar terang, kontras dengan wajah manusia yang suram.
"Al, apa yang harus kita lakukan?"
Vina bertanya, memutar lurus, menatap teman-temannya di kencan, yang tengah saling bahu mengikat orang-orang yang kehilangan dirinya.
Ali menghela nafas panjang, "mungkin, inilah saatnya untukku memanggil dirinya, sesuatu yang telah lama tertidur, menunggu waktu yang seolah berjalan lambat, untuk melahirkan raga yang menjadi tempat untuknya tinggal."
Vina mengerutkan kening, “dia siapa Al?”
Ali hanya diam, lalu mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah kotak kayu yang mulai tampak usang.
Dengan sigap, Ali membuka kotak itu. Begitu dua benda tua, Vina mendekat, menyiratkan pertanyaan.
"Ini adalah warisan dari ibukku, kamu akan tahu, setelah aku menceritakannya."
Vina mengangguk paham, sementara itu, Ali mendongak. Menatap udara kosong, seakan tengah mengenang pristiwa itu, sebuah pristiwa yang mungkin jadi telah direncanakan untuk sebuah takdir hebat yang akan ia jalani di masa depan.
Kembali ke kejadian Ali kecil. Usia delapan tahun, sakit itu, langitmulai redup, suara ayam yang kembali ke kandang terdengar dari luar jendela. Udara di kamar terasa sejuk. Ali duduk bersila di atas tikar pandan, diam, menunggu ibunya bicara.
Sang ibu duduk di hadapannya, wajahnya tenang, tapi ada agak aneh di matanya, seolah-olah dia sedang menimbang sesuatu yang berat.
Di Pangkuannya, terlihat kotak kayu, seukuran buku tulis, dengan kunci kecil brbahan kuningan. Warnanya sudah mulai pudar, dan bagian sudutnya tampak lapuk dimakan usia.
Pelahan, sang ibu membuka kotak itu, di dalamnya, dua benda disimpan di sampingnya. Sebuah kalung dengan liontin batu hitam berbentuk taring, diikat dengan tali kulit tua.
Serta sebuah gulungan kertas kuno, pengikatan benang merah yang sudah rapuh.
Ibunya menyerahkan kalung itu lebih dulu. “Simpan ini baik-baik,” ibu berbicara, suaranya pelan, seolah mengandung rahasia. Kalung ini akan terus bersamamu, Ali mengangguk. Ia memegang kalung itu, seketika ia merasakan hangat samar dari batu hitamnya. Lalu sang ibu menunjuk gulungan kertas tua.
"Untuk yang ini… jangan dibuka sekarang." Ali menatapnya, "kenapa?"
Sang ibu menarik napas, "karena kamu belum siap. Tulisan di dalamnya bukan tulisan biasa. Jika kamu membaca sekarang, kamu hanya akan melihat huruf-huruf aneh yang bergerak. Seperti hidup, tapi nanti, disaat usiamu mencapai tujuh belas, huruf-huruf itu akan berhenti bergerak."
Ali mencoba menyentuh gulungan itu, tidak berat. Ali membuka gulungan itu. Benar saja, huruf-huruf di dalamnya seperti hidup. Berpindah-pindah, saling berpindah, melingkar. Ia mencoba mengeja satu per satu, tapi tiap kali tipisnya nyaris mengucap, huruf itu meleleh jadi garis. Gulungan itu seperti menolak untuk dibaca.
Ibu menatapnya dalam, "nanti, jika
waktunya tiba, kamu akan tahu sendiri buat apa semua ini."
Ali terdiam, "ini dari siapa,
Bu?"
Sang ibu tersenyum kecil, "bukan dari
siapa-siapa. Tapi yang jelas, benda ini untuk seseorang yang akan memanggil
sesuatu yang belum punya tempat. Ia menutup kotak itu, dan menyerahkannya
kepada Ali, seolah itu bukan sekadar benda, tapi juga janji.
"Simpan! Jangan rusak. Jangan
memberikan kotak ini kepada siapa pun. Kamu tidak harus memahaminya sekarang.
Tapi nanti… kamu akan tahu kenapa kamu satu-satunya yang bisa
membangunkannya."
"Kalau boleh tahu, memangnya apa isi
dari gulungan kertas itu Al? Dan, siapakah sosok yang mau kamu panggil?"
Ali menggeleng, "tidak sekarang.
"Kenapa?"
"Karena penulis dari cerita ini belum
mengidzinkannya."
Mendengar hal itu, dahi Vina terlipat.
"Maksud kamu?"
Sejenak, Ali terdiam. "Tuhan itu
adalah penulis, Vin. Setiap alur kehidupan kita, setiap jalan cerita yang ada,
sudah ditulis oleh Tuhan, bahkan jauh sebelum dia menciptakan segalanya.
Termasuk kehidupan kita, apa yang terjadi di hari ini, Pandemi Jiwa yang tengah
menyerang umat manusia, itu semuanya sudah dituliskan, sekaligus dengan jalan
keluarnya. Jadi, kita tidak perlu khawatir."
Vina menepuk dahinya pelan, "lantas?
Dari mana kamu tahu kalau penulis cerita ini belum mengidzinkan?"
"Dari petunjuk, yang telah ia
sampaikan ribuan tahun yang lalu. Karena, Tuhan meminta kita untuk berpikir,
melewati berbagai proses pencarian yang panjang. Bahkan, dia selalu memberikan
kepada kita pertanyaan. Seperti bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung
ditancapkan, serta bagaimana bumi dihamparkan."
Ali terus berbicara, seketika wajahnya
bersinar, seolah memancarkan keyakinan yang melesat menembus langit.
Vina menatap Ali lamat-lamat, menatap
wajahnya yang bercahaya. "Lalu? Bagaimana kamu mengetahui kalau penulis
dari cerita ini sudah mengidzinkannya?"
Ali diam, terlihat berpikir. "Setelah
kita menunggu. Karena, jawaban hanya akan datang kepada siapa yang layak, dan
bolleh jadi, soal layak atau tidaknya, itu dibuktikan melalui kesabaran kita,
dalam melalui berbagai proses penantian."
Vina manggut-manggut mendengar penjelasan
Ali, "sepertinya, perjalanan lintas semesta tempo hari, telah membuatmu
semakin dewasa."
Ali melambaikan tangan, "poinnya
bukan tentang perjalanan itu, melainkan tentang mengalahkan diri sendiri, dan
kita, telah berhasil melewati itu semua."
Vina mengangguk, "kapan kamu akan
memanggil sosok itu Al?"
"Sekarang, ayo, kita pergi ke
hutan," Ali menggamit tangan Vina. Kini, dua sosok manusia itu melangkah
menyusuri jalan setapak, melewati bangunan tua di belakang penginapan.
Langkah mereka terhenti, tak jauh dari mereka,
terlihat seorang gadis desa, langkahnya seperti orang yang putus asa.
"Al, dia," belum sempat Vina
meneruskan ucapannya, gadis itu berlari, menuju jurang yang berada persis di
samping bangunan tua.
Melihat hal itu, seketika Vina berteriak.
"Al, kita harus mencegahnya."
Dengan cepat, Ali melepas genggaman Vina,
lantas melesat, menyambar sang gadis yang berdiri di tepi jurang.
"LEPASKAN AKUU," gadis itu meronta, berusaha melepas cengkraman. Ali
tidak mengendurkan pelukan. Tangan kirinya mencengkeram lengan sang gadis,
tangan kanannya mencengkeram tepi jurang.
"AKU TAK BERGUNA! AKU CUMA
BEBAN!" Gadis itu terus menjerit, lantas suaranya berubah, terdengar gema
lain, lebih dalam, lebih tua.
Vina mendekat, matanya terbelalak. Tubuh
gadis itu tidak hanya menggeliat, ia mulai bergetar. Matanya berubah kosong,
suaranya berganti seperti gema banyak mulut.
"Aku adalah luka yang ditolak, aku
adalah air mata yang dibungkam. Aku adalah nama yang disembunyikan di balik
tembok rumah."
Ali menatap lekat mata gadis itu. Napasnya
berat. Dalam dirinya, ia tahu: ini bukan hanya percobaan bunuh diri. Ini adalah
perwujudan dari wabah yang selama ini mereka cari.
"Aku tahu siapa kau," Ali
berbicara. "Kau bukan dia, kau adalah sisa energi dari ribuan jiwa yang
tak pernah sempat bicara."
Seketika, Langit mendadak gelap, seakan
tengah diliputi awan hitam. Angin bertiup dingin, dan dari balik hutan,
terdengar raungan… pelan, tapi menggetarkan tulang.
Ali menarik gadis itu menjauh dari tepi
jurang, lantas membaringkannya di pangkuan Vina. Gadis itu tak sadarkan diri,
tubuhnya basah oleh keringat.
Vina memeluknya erat, "Ali, itu tadi
apa?"
Ali berdiri, matanya menatap hutan, yang
pepohonannya meliuk mengikuti angin.
"Itu pertanda."
"Pertanda apa?"
Ali memejamkan mata, menggenggam kalung
peninggalan ibunya.
"Pertanda bahwa luka manusia telah
melewati batas tubuhnya. Sudah saatnya."
"Apa?"
Ali membuka matanya. "Kita akan
memanggilnya, sekarang."
Dari dalam sakunya, ia mengeluarkan
catatan tua, lantas berjalan memasukki hutan. Setiap langkahnya diiringi
getaran tanah yang nyaris tak terdengar, namun terasa di dada.
Vina menoleh, menatap gadis yang kini
terlelap dalam pelukannya, wajahnya tenang, seperti anak kecil yang akhirnya
bisa tidur setelah menangis semalaman.
"Jangan takut," bisik Vina
lirih, untuk kemudian beranjak bangkit mengikuti Ali.
Hari ini, bukan hanya mereka yang akan
memanggil sesuatu. Tapi sesuatu itu yang juga tengah menunggu untuk dipanggil.
Dan hutan telah bersedia membuka pintunya.
Mereka terus melangkah, semakin dalam
memasuki hutan. Cahaya matahari terlihat redup, terhalang oleh pepohonan yang
menjulang. Sesekali terlihat burung-burung yang terbang rendah, tupai yang
melompat, berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Hening, tidak ada
percakapan.
Hingga, langkah Ali terhenti, di
hadapannya, sebuah batu besar terlihat. "Ada apa Al?"
Ali diam, tidak menjawab. "apakah di sini kita akan memanggil sosok itu?"
Namun Ali masih diam, memegangi perutnya. "Aku, aku lapar Vin."
Vina menepuk dahi, "astaga Al, aku kira apa. Dalam situasi genting seperti ini, kamu masih berbicara urusan perut."
“Heh Vin, makan itu adalah kebutuhan kita, percuma kita menyelesaikan tugas besar, menyelamatkan dunia, sedangkan kebutuhan diri yang hidup mengisi perut saja tidak kita sangka,” Ali menimpali, intonasinya ketus, Vina membatalkan, ia tahu, Ali kalau lagi lapar, dirinya akan jauh lebih sensitif. "Maaf Al, aku lupa membawa bekal, seharusnya tadi aku menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke penginapan."
Lalu, dari kejauhan, terlihat segerombolan monyet yang mendekat, UUAA, UUAA, monyet-monyet itu menukar tangan ke arah Ali dan Vina. Salah satu monyet itu mendekati mereka, membungkuk hormat, lalu meletakkan beberapa buah pisang di hadapan mereka.
UUAA, UUAA, sekali lagi, monyet-monyet itu berseru, tiba-tiba tangan, sebelum akhirnya pergi entah kemana.
Mereka saling tatap, memutar. "Sepertinya, alam tahu, bahwa manusia tidak baik-baik saja, dan hutan ini, mengutus salah satu penghuninya untuk membantu kita."
Perlahan, Ali mengambil pisang itu, Vina mengangguk, ikut mengambil pisang.
Bersambung..
Penulis: Akbar Nugroho
Saluran WhatsApp: Manusia Silver
Admin Pemosting: Pendekar Kelana

Posting Komentar