RUMAH, bagian 5, yang TELAH LAMA PERGI

Table of Contents

Vina menunduk, wajahnya pucat. "Jadi ini semua karena aku?"

Vina bicara, suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Harimau putih itu mendekat, suaranya lembut namun penuh getaran energi, "Bukan karena kau, tapi karena luka yang belum kau izinkan untuk sembuh. Luka yang kau pelihara diam-diam, seraya tersenyum di hadapan dunia."

Ali menatap Vina, hendak menggenggam tangannya, namun batal. Ada dinding yang belum bisa ia tembus.

"Kau tidak perlu merasa bersalah, Vina," Harimau itu melanjutkan. "Tapi jika kau ingin dunia ini selamat, jika kau ingin kekuatan kalian bersatu, kau harus kembali ke akar lukamu."

Mendengar hal itu, seketika Vina menggeleng cepat, "Aku tidak bisa. Aku bahkan tidak sanggup mengingatnya, Tempat itu, orang-orang itu, dan semua hal yang ada di sana, hanya membuatku ingin menghilang."

"Justru karena itulah kau harus kembali ke sana," Harimau mengaum lirih. "Tempat yang paling ingin kau hindari, seringkali adalah tempat yang menyimpan kunci kebebasanmu."

Ali menatap Harimau itu tajam, "Heh, apa maksudmu membawanya kembali ke sana? Apa kau akan menyeretnya ke dalam trauma yang bahkan belum siap ia hadapi?"

"Aku tidak menyeret," Harimau menimpali, intonasinya tajam. "Aku membuka jalan. Dan jalan itu tidak akan menelan siapa pun, kecuali mereka yang memilih untuk terus menghindar."

Vina mengepalkan tangan, bibirnya bergetar.

"Apa tempat itu akan menyakitiku lagi?" Vina bertanya, seperti anak kecil yang takut akan gelap.

Harimau menatapnya lekat, "mungkin. Tapi kau takkan menghadapinya sendiri. Ada Ali yang akan menyertaimu, dan aku, akan menjadi penjagamu."

Harimau itu mengangkat satu kaki depannya, lantas mencakar udara. Seketika, retakan muncul di tengah ruang. Itu bukan retakan biasa, melainkan celah cahaya yang bergulung pelan, membentuk pusaran, seperti kelopak bunga yang mekar terbalik.

"Ini bukan sekadar portal,"Harimau menjelaskan. "Ini adalah ruang lipatan antara ruang dan waktu. Di sanalah kau akan menemukan fragmen masa lalu yang belum selesai. Pergilah bersama Ali, sementara aku akan menunggu kalian di sini, kembalilah kalian disaat Matahari terbenam.

Ali menatap Vina, "Kita lakukan ini bersama, ya?"

Vina mengangguk pelan, meski tubuhnya masih bergetar.

Portal itu mulai berkibar, seperti tirai cahaya. "Masuklah," Ali dan Vina mengangguk. Perlahan, mereka melangkah memasuki portal.

 

Persis disaat keduanya memasuki portal, sekitar mereka berubah. Bukan hutan, bukan kota, bahkan bukan tempat yang bisa dikenali oleh logika. Mereka tiba di lorong panjang, sekitar mereka dipenuhi potongan-potongan kenangan. Gambar-gambar samar tergantung di udara, seperti film usang yang terus diulang.

Samar, terdengar suara tangis seorang anak kecil. Tangis yang lembut, namun memilukan. Vina termangu, napasnya tercekat.

"Itu suara diriku yang masih kecil."

Ali menoleh, menatap Vina dengan sorot mata yang khawatir. "Teruslah melangkah, jangan tolak suara itu," ucap sang Harimau, suaranya terdengar samar di kepala mereka.

Lengang sejenak, dua menit, mereka tiba disebuah desa. "Ayo Al, kita sudah sampai, Ali mengangguk. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang tidak asing bagi Vina, hanya saja, tempat itu terlalu lama dihindari. Tanah ini pernah ia tapaki dengan kaki kecil yang penuh harap, sebelum akhirnya ia memilih pergi, membawa luka yang tak sempat ia pahami.

Desa kecil di pinggir hutan itu masih sama, sunyi, tapi menyimpan aroma kenangan yang tak berubah, bau kayu lapuk, asap dapur dari tungku batu, dan suara angin yang mendesah pelan di sela-sela daun pisang.

Ali berjalan di sampingnya, diam. Ia tahu, ini bukan perjalanan tubuh, tapi perjalanan jiwa. Dan setiap jiwa, punya cara tersendiri untuk menyembuhkan.

"Di sana," Vina menunjuk rumah panggung tua dengan dinding papan yang mengelupas. "Di tempat itulah aku terakhir melihat Ibu."

Ali diam, tak menjawab. Ia hanya berdiri menatap rumah itu.

Perlahan, Vina melangkah menuju teras. Tangannya gemetar saat menyentuh gagang pintu. Pintu itu terbuka, berderit pelan, seperti menyambut seorang anak yang telah lama pergi.

Vina melangkah masuk, disusul Ali yang mengekor di belakangnya. Tidak ada yang berubah, semua terlihat sama, seperti kondisi terakhir sebelum Vina meninggalkan rumah. Gelas di atas meja, foto usang di dinding, sapu lidi yang bersandar di pojok ruangan.

Vina memejamkan mata, "aku tidak pernah benar-benar berpamitan. Aku hanya pergi."

Ali menepuk bahunya pelan. "Kadang, pergi adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup, Vin."

Vina mengangguk, air matanya jatuh. Ia berjalan ke pojok ruangan, mengambil sesuatu dari balik tumpukan kain lusuh, sebuah boneka kain yang sudah usang.

"Dulu, aku selalu mengajak boneka ini bicara saat Ibu menangis sendirian di dapur. Aku ingin jadi anak baik, tapi aku terlalu takut untuk bertanya kenapa beliau sering menangis."

 

Ali menatap boneka itu. Di matanya, benda usang itu bukan sekadar kain, tapi potongan jiwa Vina yang tertinggal.

"Kalau kamu masih mau jadi anak baik," ucap Ali lembut, "mungkin sekarang saatnya untuk bertanya. Bukan pada Ibumu yang sudah tiada, melainkan kepada dirimu sendiri, apa yang selama ini kamu simpan dan belum kamu maafkan?"

Vina terduduk di lantai kayu yang dingin, boneka tua itu masih ia genggam. Perlahan, kenangan itu mengalir deras di kepalanya.

"Aku marah," Vina bergumam lirih, nyaris tak terdengar. "Marah karena Ibu lebih sering menangis daripada tertawa, marah karena beliau tidak pernah menjelaskan kenapa dirinya sering menangis. Dan aku, aku benci diriku sendiri karena memilih pergi."

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia memeluk boneka itu seperti memeluk dirinya yang kecil.

"Aku hanya ingin dimengerti, aku hanya ingin jadi anak kecil yang bisa tertawa tanpa rasa bersalah."

Ali tetap berdiri di belakang, memilih diam. Ini bukan saatnya bicara. Ia tahu, ini saatnya membiarkan luka-luka itu bicara sendiri.

Mendadak, angin berembus memasuki lewat celah-celah papan rumah itu. Sehelai kain tua jatuh dari rak. Vina bangkit, mengambilnya. Di balik kain itu, tersembunyi sebuah buku tipis, buku harian ibunya. Halamannya usang, tapi tulisan tangan itu masih jelas.

"Hari ini Vina menangis lagi. Aku ingin memeluknya, tapi tanganku gemetar. Aku takut menyakitinya. Aku ingin bicara, tapi lidahku kelu oleh rasa bersalah yang tak pernah usai. Maafkan Ibu, Nak. Ibu juga sedang belajar untuk menjadi manusia."

Vina menutup buku itu perlahan. Tubuhnya gemetar, tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena paham. Ia akhirnya mengerti: luka bukan hanya miliknya. Ibunya juga menyimpan luka, dan boleh jadi, tidak ada yang benar-benar salah. Mereka hanya saling menunggu untuk dipeluk.

Vina berdiri, memeluk buku dan boneka itu bersamaan. Matanya menatap cahaya lembut dari jendela.

"Aku sudah pulang, Bu, dan mulai saat ini, aku tidak akan pergi lagi tanpa memaafkan."

 

Vina menoleh, menatap Ali yang masih berdiri diam.

"Al, temani aku berkunjung ke makam ibu."

Ali mengangguk, menggamit tangan Vina, lantas beranjak meninggalkan rumah panggung.

Langit menggantung kelabu, udara di luar rumah panggung terasa sejuk. Jalanan tanah basah dilewati dua pasang kaki yang tak banyak bicara, tapi saling menggenggam lebih erat dari sebelumnya. Langkah mereka menembus jalanan kecil menuju bukit di utara desa. Di sisi kiri, hamparan sawah membentang pucat. Di sisi kanan, pepohonan jati berbisik lirih seperti menyambut kepergian yang lain, untuk terakhir kali.

"Dia meninggal waktu aku masih SMP," suara Vina pelan, nyaris lebih halus dari desir angin.

Ali menoleh, tak menyela.

"Aku belum sempat minta maaf, karena waktu itu aku marah. Dia terlalu baik, terlalu diam, dan aku merasa itu kelemahan. Padahal sekarang, aku baru sadar, mungkin justru di diamnya itu, ada cinta yang tak pernah mengharap balas."

Ali menggenggam tangan Vina lebih erat, menyalurkan hangat tanpa kata.

Mereka tiba di pelataran kecil, rumput liar tumbuh di antara batu nisan. Vina berjalan, mendekati salah satu nisan berwarna kelabu yang sudah ditumbuhi lumut. Ia jongkok, menyentuh batu itu seperti menyentuh wajah yang lama tak ia temui.

"Ina datang, bu," ucap Vina lirih, suaranya serak. "Maaf, baru berani ke sini sekarang."

Ali mundur memberi ruang. di hatinya, badai ikut bergemuruh. Ia bisa merasakan luka itu. Bukan hanya duka karena ditinggal, tapi duka karena cinta yang tak sempat dijaga.

Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan kenangan. Di balik awan, matahari mengintip malu. Seolah turut menyaksikan momen pertemuan dua dunia, yang hidup dan yang sudah tenang.

Vina berdiri, di tangannya, sebuah bunga kamboja putih yang ia petik dari jalan setapak tadi. Ia letakkan di atas nisan, lantas menoleh menatap Ali.

"Aku siap, Al."

 

Ali mengangguk, mereka beranjak meninggalkan pemakaman. Melewati pematang sawah yang mulai mengering, suara jangkrik pelan-pelan menggantikan celoteh burung sore. Di kejauhan, para petani tampak memikul cangkul, berjalan pulang dengan langkah berat.

Seorang pria setengah baya menghampiri, tubuhnya penuh lumpur, topi caping menutupi sebagian wajahnya yang legam terbakar matahari. Saat melihat Vina, senyumnya merekah.

"Eh, Neng Vina, tos lami teu katingal!"

Eh, Neng Vina, sudah lama tidak terlihat!

Vina menoleh, tersenyum.

"Ih, Pak Asep, damang?"

Ih, Pak Asep, sehat?

Pak Asep menyeka keringat di pelipisnya dengan lengan baju. "Damang, Neng. Anjeun kumaha? Cag deui ti kota?"

" sehat, Neng. Kamu sendiri gimana? Kok baru pulang lagi dari kota?

Vina tersenyum, "muhun, Pak. Aya nu kedah dipaluruh di dieu."

Iya, Pak. Ada yang harus dicari di sini.

Ali berdiri di belakang Vina, memperhatikan percakapan itu dengan tenang. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma padi dan tanah basah.

Pak Asep melirik ke arah Ali, mengangguk ramah.

"Saha ieu, Neng? Dulur atanapi rerencangan?"

Siapa ini, Neng? Saudara atau teman?

Vina menimpali, "Réréncangan, Pak. Nami anjeunna Ali."

Teman, Pak. Namanya Ali mengangguk takzim, "Punten, pak."

Permisi, Pak. "Muhun, sami-sami. Wilujeng sumping ka lembur urang."

Iya, sama-sama. Selamat datang di kampung kami. Pak Asep tersenyum hangat, lantas kembali menatap Vina. "Ningali ka anjeun téh, siga ningali almarhumah indung anjeun, jero, tapi leuleus."

Melihatmu itu seperti melihat almarhumah ibumu, dalam, tapi lembut.

Vina terdiam, matanya sedikit berkaca. "Abdi hoyong nganjang ka bumi heubeul, Pak. Hapunten upami teu nyarios tiheula."

Saya ingin mengunjungi rumah lama, Pak. Maaf kalau tidak memberi kabar lebih dulu.

Pak Asep meletakkan cangkulnya di pundak, berdiri lebih tegak.

"Tong hariwang, Neng. Lembur téh salawasna narima nu balik, sanajan ngan sakeudeung. Mugia nu dipaluruh kapanggih, sanajan meuntas tangtungan hat."

Jangan khawatir, Neng. Kampung ini selalu menerima siapa pun yang kembali, meski hanya sebentar. Semoga yang kamu cari ditemukan, meski harus menyeberangi batas-batas hati.

Vina mengangguk pelan. Ucapan Pak Asep bukan sekadar basa-basi; ia memahami, bahwa yang sedang mereka cari bukan hanya kenangan, melainkan kebenaran yang lama tertinggal.

 

Langit berubah jingga, sinar mentari sore mengusap lembut permukaan sawah yang tenang. Vina menatap Pak Asep dengan sorot mata dalam, tersenyum tipis.

"Hapunten, Pak, abdi pamit, bade uih deui ka kota."

Maaf, Pak. Saya pamit, mau balik lagi ke kota.

Pak Asep mengangguk pelan, ia menggenggam gagang cangkulnya erat, seperti menahan kenangan yang ikut melintas.

"Sok, Neng. Hati-hati. Ari aya nu matak pikabetaheun atawa anéh, ulah dipendeman sorangan, nya."

Silakan, Neng. Hati-hati. Kalau ada yang membuatmu tidak nyaman, jangan berendam sendiri ya.

Vina menunduk, “hatur nuhun, Pak Asep. Kecap Bapak sok ngajadikeun haté rada teuneung.”

Terima kasih Pak Asep. Kata-kata Bapak membuat hati sedikit lebih berani.

Ali menunduk memberi hormat, "hatur nuhun, Pak, mugia sing salamet dinten ieu."

Terima kasih Pak, semoga selamat, dan hari-hari bapak dipenuhi kebaikan.

Pak Asep tersenyum menatap Ali, "Aamiin, Kang Ali. Anjeun oge, jaga Neng Vina, nya."

Aamiin, Kang Ali. Kamu juga, jaga Neng Vina, ya. “Siap pak,” Ali menimpali sambil mengangguk mantap. Mereka berangkat, meninggalkan pematang. Angin sore mengiringi kepergian mereka, seolah ikut berdoa dalam diam.

Tiba di pinggir hutan, Portal kembali terbentuk, membawa mereka menuju tempat yang telah disepakati. Kembali menemui Harimau putih, siap menyatukan kekuatan.

 

Bersambung.

Penulis: Akbar Nugroho

Saluran WhatsApp: Manusia Silver

Admin Pemosting: Pendekar Kelana

 

Posting Komentar