Tiga Sekawan
Sontak tawaku meledak ketika melihat Adit yang lagi-lagi berlagak sebagai Aditia Warman pada sela aktivitas keseharian kami. Aku tahu, pangeran dari telatah Pamalayu itu seorang yang bijaksana dalam tatakelola pemerintahan dan pandai dalam strategi perang baik selama di Swarna Dwipa maupun di Trowulan. Diperbandingkan dengan Aditia Sakti Situmorang yang tampak jauh laksana matahari dan rembulan. Dari eranya saja sudah berbeda. Apalagi dengan pemikirannya?
Adit atau Sakti aku mengenalnya sejauh ini jangkauan jahil. Masalahnya Sakti, biasanya aku menemukan ini sering menyembunyikan barang kesayanganku. Mulai dari gawai, dompet, bahkan dalaman pun juga tak tertinggal. Namun, jika dibalas, pemuda kelahiran blasteran Sawahlunto dari pihak ayah dan Bulukumba dari pihak ibu ini mudah mengamuk seraya mengumpat tanpa terkendali.
"Kamu, ya! Tidak jera-jera menyembunyikan dompetku, hah! Apa sih, alasanmu?" Tanpa basa-basi, suatu pagi aku memarahinya di depan asrama.
Sakti hanya cengengesan. Pemuda berusia 25 tahun baru saja melihatnya dengan tanda tanya sambil tersenyum penuh arti yang sebenarnya menyebalkan.
"Tidaklah, Kawan. Ambo tidak mengerjakannya, kok." Sakti dengan santai melenggang menuju kamar.
Aku hanya menghela nafas menyimpan geram. Sebagai putra Madura, saya berharap memutarbalikkan pemuda itu, tapi saya malas mencari urusan dengan instruktur di Akademi Militer Bumi Ngoro Surabaya ini.
Ahmad Sovian Handaka, namaku. Asalku dari Gili Iyang, sebuah pulau yang dinobatkan sebagai pulau dengan obsigen terbersih di bumi oleh dunia sehingga menjadi kebanggaan Madura. Usia, kurang lebih sama dengan Sakti. Namun, seangkatan tidak juga menyamakan fisi kami dengan taruna.
Sebelum lebih lama merasakan sebal, terdengar instruksi dari pembicara terdekat yang menyatakan semua taruna wajib berkumpul karena akan ada inspeksi mendadak dari pengajar dan senior dari akademi lain. Buru-buru aku balik kamar, berbenah agar rapi, dan langsung menuju tanah lapang depan.
"Kau juga datang?" Adit sok akrab ketika melompat di lorong.
Aku tidak menyadarinya. Hanya menjajari langkah pemuda menyaingi perang syrafku itu.
"Kamu belum jelas juga? Kita sudah tiga tahun jalan loh!" Adit sepertinya enggan menimpali.
Akhirnya sampai juga di tanah lapang. Sudah banyak orang berkumpul dan membentuk barisan di pinggiran lapangan. Aku dan Adit segera menempati posisi di barisan asrama kami di sudut Barat.
"Untung kalian telat. Tadi Inspektur Sumitro mengancam kalau ada yang telat akan dikirim di garis belakang pos-pos KKB."
"Astaga! Seriuskah, Yusuf?" Pemuda tetangga kamar kelahiran Sabang itu hanya kebetulan tangan tanpa mau bicara lebih banyak.
"Saya mengumpulkan kalian di sini karena memiliki alasan yang kuat."
Seorang paruh baya
berpakaian seragam lengkap berpangkat Kolonel membuat diam riuh pembicaraan
dari barisan taruna yang seakan mengepung lapangan ini dengan satu kalimat
lugas. Suasana sepi, senyap, dan aroma ketegangan mulai menyeruak.
"Hari ini kalian
bersiaplah! Praktikum bulanan yang telah dicanangkan dari kementrian pertahanan
sejak bulan kemarin akan diterapkan di hari ini. Serempak di seluruh akademi
militer di negara kita tercinta ini."
Tatapannya menajam, dia
tersenyum kaku. Sinar mentari yang membasuh wajahnya menjadi berkeringat seakan
tidak diindahkan. Aku mulai agak gelisah. Pikiran pun melayang dan menimbang
segala kemungkinan.
"Lalu apa saja yang
harus kalian kerjakan?" Kolonel Sumitro berhenti bicara dan tiba-tiba
wajahnya mengeras ketika dari arah saku celana terdengar lagu dangdut Ku
Titipkan Cintamu dari Hona Sutra.
"Sebentar, saya ada
panggilan penting. Dilarang bubar!" Tanpa menunggu jawaban, lelaki
bertampang sangar itu berjalan menjauhi barisan.
Terdengar tertawa dan
pembicaraan kecil dari beberapa sudut barisan.
"Lucu, buat kita.
Tapi, rasanya tidak bisa sampai membuat tertawa. Wajar bukan, selera orang
beragam?" Aku berkomentar santai.
"Berisik kau,
Sovian! Seperti aku inilah, disiplin!" Adit menyambar dengan kalimat yang
membuatku tercengang.
"Lah, kau ini!
Seolah paling disiplin, padahal sebaliknya.," malas aku menjawab.
"Sudah! Lihat,
Inspektur Sumitro sudah tegak lagi! Hati-hati kalian!" Yusuf
memperingatkan dari samping dengan agak berbisik.
Aku terkejut ketika pria
paruh baya itu sudah berdiri disiplin di tempatnya sana, di tengah lapangan.
"Maaf, anggap saja
tadi sebagai bentuk pameran saya kalau saya ada yang merindukan seperti halnya
kalian yang jauh dari krabat dan keluarga. Sekarang, kita fokus lagi! Yang bisa
kalian lakukan untuk memenuhi instruksi praktikum ini adalah menaati dan
melaksanakan apa yang telah dibaca dalam buku saku pedoman yang baru saja diterbitkan
kementrian baru-baru ini. Silakan kalian maju satu persatu secara tertib dan
mengambil buku ini! Sesudahnya, lanjutkan lagi kegiatan kalian di asrama."
Aku hampir mengumpat
sebab merasa dikerjai. Lebih menyebalkan lagi, pengambilan buku saku praktikum
itu hanya berlangsung satu jam. Cepat, sih, iya, dan pada akhirnya bisa aku
simpulkan kalau terlalu rajin untuk inspeksi yang bersifat mendadak tidak
selalu menyenangkan.
Kegiatan berlangsung
seperti hari-hari sebelumnya. Bangun pagi-pagi, sembahyang, gerakan-gerakan
ringan untuk menjaga kebugaran fisik, apel pagi, mandi, makan, belajar,
diskusi, istirahat, belajar lagi, sampai sore menjelang tanpa terasa.
Diam-diam, perasaan bosan kian mengental. Ingin cepat-cepat selesai untuk orang
yang telah tiga tahun tinggal di asrama wajar, kan? Sayangnya, tidak bisa.
Sebab masih ada dua tahun sepaket dengan kewajiban harus aku selesaikan.
Tanpa terasa, tibalah aku
di hari pertama praktikum. Tempat yang aku dapatkan merupakan tempat yang dekat
sekali dengan masyarakat pesisir. Adalah Star Glory Squrity, sebuah perusahaan
jasa keamanan yang fokus menjaga lalu lintas laut kapal-kapal swasta seperti
pedagang, nelayan, dan berbagai provesi kelautan lainnya. Di sini, aku bertugas
sebagai pengawas. Superfisor bahasa kerennya.
Sambutan staf dan
orang-orang di sana cukup ramah di hari pertama. Aku diminta untuk mempelajari
database dulu agar bisa menyesuaikan kultur kerja di perusahaan yang aku pikir
cukup terkenal di negara ini. Ayu Katrina Putri, salah satu staf yang ku taksir
lebih muda 2 tahun dari aku lincah dan mahir sekali menjelaskan apa saja yang
ada di database serta hal-hal apa yang semestinya aku kerjakan kedepannya.
Tanpa terasa, siang
datang bersama pasukan debu dan sengatan panas matahari. Keluar dari ruang
bermesin pendingin, jelas mengundang untuk mandi keringat karena letak kantor
perusahaan tidak jauh dari pantai. Aku lebih memilih untuk duduk-duduk di ruang
sembahyang sesudah menunaikan kewajiban. Istirahat hanya setengah jam saja,
jadi tidak banyak yang bisa aku lihat dan nikmati di sekeliling lingkungan ini.
"Mas, boleh kita
kenal lebih pribadi?" Katrin, demikian panggilan akrab pembimbing
praktikumku itu tersenyum padaku saat kembali di ruang database.
"Bukan jadi masalah,
sih. Toh, Mbak juga udah selesai menjelaskan hal-hal kewajiban di sini?"
Dia hanya mengangguk sembari jari-jarinya lincah menekan tombol-tombol keyboard
mekanik dan sesekali diam mencermati sesuatu di layar komputer.
"Mas Vian dari mana
asalnya dan sudah berapa lama tinggal di akademi itu?" Aku tersenyum
tipis, lalu menjawab, "Dari Madura, tepatnya Sumenep, Mbak. Kalau di
akademi itu aku baru tiga tahun."
"Mas tahu kalau
praktikum di sini, bakalan ketemu nanti di lapangan orang-orang yang rela
mencabut nyawa. Mas tidak takut?" tanyanya agak mencecar.
"Sejak kecil, saya
sering didongengi Kakek tentang seorang pahlawan berpangkat kolonel yang tidak
hanya berjasa mendirikan badan intelejen negara, tetapi juga seorang shadow
master pertama di Indonesia. Semenjak itu, saya sering mendengarkan dan
menonton kisah-kisah peperangan yang difilmkan. Ditambah saya rajin olahraga,
itulah alasan yang masuk akal buat saya mendaftar dan berkuliah di akademi
militer kelautan itu."
Katrin manggut-manggut.
Dia tidak berkomentar apa-apa. Lebih asik dengan kesibukannya di depan layar.
Makanya tidak terlalu merespon ceritaku. Sudah tentu, membuatku agak jengkel,
tapi aku tahan-tahan saja.
Sampai sore, gadis itu
mendiamkanku. Hanya menyuruhku untuk pulang duluan satu jam sebelum jam kerja
selesai. Dengan Harley militer berwarna hitam legam keluaran lima tahun lalu,
aku menikmati perjalanan sejauh 10KM. Sampai di asrama, aku tidak bisa langsung
istirahat. Aku harus melapor ke wali pembimbing yang merangkap penanggungjawab
beberapa kamar.
Hanya sedikit yang bisa kulaporkan, pembimbing maklum, dan menyuruhku untuk melanjutkan aktivitas yang sudah seharusnya jadi kewajiban warga asrama.
"Gimana bro, kerja komandomu hari ini?" sambut Sakti yang sudah berada di kamar.
"Lebih banyak mendengar database staf ocehan yang cantik. Kalau kau?" Sakti menggeleng-geleng sambil menahan tawa.
"Ini, ini! Aku malah ditempatkan di lapas. Aduh, menyebalkan. Karena di sana banyak orang-orang yang dipecat dari militer karena pelanggaran tata tertib institusi dan bertindak kriminal di luar lembaga." Sakti langsung curhat panjang-lebar, sementara aku meletakan tas dan membereskan barang-barang.
Aku juga menahan tawa. Kita berdua tertawa karena saking lelahnya menghadapi hari pertama yang jauh dari ekspetasi.
"Apa ini ya, bentuk upaya keluar dari barak menuju kehidupan warga sipil?" Aku memikirkan pertanyaan yang Sakti lontarkan.
"Nggak tahu ya? Aku masih belum memahami betul apa sebenarnya tujuan dari praktikum ini." Dari arah pintu, terdengar suara Yusuf.
"Hei, sopan sekali kau menjadi intel dari balik pintu!" Sakti meminta jengkel.
Aku hampir kelepasan tertawa melihat Sakti bisa sejengkel ini jika kelelahan atau lagi tidak mau diganggu pembicaraannya. Yusuf masuk dengan tampilan segar, rambut masih basah, dan senyum yang bijaksana.
“Oh, kamu tidak mengabari ya, kalau kamar mandi sudah sepi?” Aku menimpali dengan santai.
"Salah sendiri tidak mengantre!" Yusuf duduk di kursi dekat kasur tidur.
Sakti masih menggerutu tidak jelas. Yusuf dan aku menatap aneh.
"Gila aku menghadapi kalian! Aku mandi saja, lah!" Sakti mengambil handuk dan peralatan mandi, lalu melenggang keluar.
"Aku Ditempatkan di kampus, Bro. Aku harus bekerja sama dengan satpam. Sehari ini, seperti mereka saja kerjaku." Yusuf singkat bercerita.
Nikmat rasanya, bisa bersandar di bantal yang ku tempel di dinding.
"Kamu selanjutnya begitu, Suf?" Yusuf mendesah, merasa entahlah.
"Nanti pasti ada Arah dari Instruktur Sumitro atau pembimbing yang lain."
"Semoga saja program ini tidak mengorbankan siapapun layaknya rahasia operasi puluhan angkatan taruna di atas kita." Kalimat Yusuf yang terakhir ini menghenyakanku.
“Maksudmu di era Sang Arsitek Intelejen tiga puluh tahun silam?” Aku merasa gamang.
“Ya ampun, masa-masa ketika rakyat banyak dibungkam, pelajar dibatasi, dan intel dimana-mana.,” Yusuf menatap jendela.
"Aku percaya, pemerintahan yang baru setahun berjalan ini, akan baik-baik saja." Tambahnya.
"Kamu sebenarnya tidak bijaksana, Suf. Kamu banyak mengamati. Analisismu itu lalu kamu tulis, jadi karya tulis mahal bagi Kampusnya Kementrian Pertahanan. Nyatanya kamu dianggap calon intelejen ulung di bidang politik. Meskipun aku tidak tahu, ya, kamu akan bertugas sebagai komandan, intel operasional, atau intel lapangan." Aku menatap sahabatku itu dengan sungguh-sungguh.
"Hei, seru sekali kalian! Aku ditinggal, nih!" Sakti bersinar sebal di ambang pintu, meredakan admosfir keseriusan di ruang kamar ini.
Aku dan Yusuf saling bertatapan, lalu menatap Sakti.
"Serius kamu seberani ini?" Kompak pertanyaan itu terlontar.
Giliran Sakti yang bingung.
"Hah, handukku kemana? Masa, aku bugil dari kamar mandi? Berarti tadi yang menertawaiku sepanjang jalan artinya mereka? Aduh, alamat gosip panas ini! Tolong, jaga pintu, aku mau berpakaian." Sakti tergesa-gesa masuk kamar dan menutup pintu dengan keras.
Aku dan Yusuf tidak tega tertawa sewaktu melihat muka Sakti yang tidak ada bedanya dengan kepiting rebus.
Bantul, 5 Oktober 2025
Posting Komentar