Qurban, Nama Lain dari Kesanggupan untuk Peduli

 

Disklaimer: Tulisan ini adalah keisengan saya karena merasa jenuh dengan beban dan deadline tugas UAS Matakuliah Manajemen Bencana. Pun, dengan matakuliah yang lain.

 

"Bencana tidak datang tiba-tiba. Ia dikirim pelan-pelan oleh kelalaian yang berlangsung terus-menerus."

 

Di kota yang tenang tapi rentan, di Yogyakarta yang selalu tampak akrab bagi kenangan dan juga kegelisahan, kami bertemu dengan wajah-wajah yang—kalau boleh dikatakan—sedang beribadah. Bukan di masjid, bukan pula dengan sejadah atau kitab suci, melainkan dengan cangkul di tangan, dengan bronjong di bahu, dan dengan tekad di dada. Mereka tak sedang menyembelih kambing. Tapi mereka sedang menyelamatkan hidup, yang tak kalah suci.

 

Idul Adha selalu datang dengan satu pesan lama yang tak habis ditafsirkan: qurban. Dalam pengertian paling purba, ia berarti pengorbanan. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, ia lebih dari itu—ia adalah kesanggupan untuk peduli. Untuk memberi bagian terbaik dari diri kita bagi sesama. Bagi bumi. Bagi hari esok yang belum tentu tenang.

 

Kita sering membayangkan bencana sebagai dentum tiba-tiba: gempa, letusan, banjir bandang. Tapi yang luput dari bayangan kita adalah sunyi sebelum itu—saat-saat di mana air meresap perlahan, sampah dibuang sembarangan, ruang hijau digerus perlahan. Maka dari itu, mitigasi bukanlah kerja darurat, melainkan kerja sunyi. Dan seperti qurban, ia adalah kerja kesanggupan.

 

Di RW 05, pinggir DAS Code, warga tak menyanyikan lagu kebangsaan atau membacakan deklarasi. Mereka memasang bronjong. Mereka menyendok lumpur. Setiap minggu. Setiap musim. Hasilnya? Debit puncak sungai menurun. Banjir mulai pelan-pelan kehilangan pijakan. Dan kita belajar: patriotisme kadang tampil dalam bentuk paling sunyi.

 

Di gang-gang sempit Kelurahan Kridosono, petani dan pemuda—yang mungkin tak dikenal siapa-siapa—membuat lubang-lubang kecil, menanam bambu, menutup kembali. Seperti zikir di tanah. Sederhana tapi konsisten. Dua ratus sumur resapan menyerap air. Tapi lebih dari itu: mereka menyerap harapan.

 

Apa yang dilakukan mereka bukan proyek. Ini bukan program dari atas. Ini adalah tindakan warga yang bersetia. Mereka tak menunggu BPBD. Tak berharap PLN segera datang saat rob. Mereka bikin shift piket. Mereka aktifkan WhatsApp alert. Mereka menambal perahu karet. Mereka hadir, bahkan sebelum negara datang.

 

Dalam pertemuan kami dengan Prof. Eko Teguh Paripurno dan Bapak Wawan, kami menangkap satu hal yang lebih penting dari data dan indeks: bahwa penanggulangan bencana tak akan pernah berhasil tanpa keterlibatan rasa. Ilmu bisa dihitung, tapi kesanggupan untuk menjaga—itulah yang menentukan.

 

"Mitigasi itu iman saya," kata Pak Wawan. Sebuah kalimat yang mungkin akan terdengar ganjil bagi para ahli. Tapi bagi warga Tegalsari yang terancam longsor, iman seperti itu adalah satu-satunya alasan untuk tetap tinggal.

 

Idul Adha bukan hanya hari raya. Ia adalah pengingat tahunan bahwa hidup bukan untuk diri sendiri. Dan bencana—jika kita jujur—adalah ujian bagi sejauh mana kita rela berbagi beban.

 

Barangkali sudah saatnya kita menafsirkan qurban sebagai kesanggupan untuk:

 

Membersihkan sungai seperti kita membersihkan hati.

 

Membuat sumur biopori seperti menanam pengampunan.

 

Menjaga bantaran dari bangunan liar seperti menjaga nilai dari kerakusan.

 

Dan membagi waktu menjaga pos jaga seperti membagi daging kurban: dengan tulus.

 

Kita tahu, mitigasi bukan hanya urusan teknis. Ia adalah seni mengingatkan orang agar tetap waras di dunia yang rawan. Ia adalah seni membentuk kebersamaan di antara keraguan. Dan seperti qurban, ia tak selesai dalam satu hari. Ia harus dipelihara. Dipelajari. Dijalani berulang.

 

Karena itu, jika boleh mengusulkan, mari perluas makna qurban. Jadikan ia panggilan harian. Qurban bukan lagi milik Ibrahim semata. Ia juga milik Slamet di RW 05, Lestari di Kridosono, Wan Dede di Tegalsari, dan Sari di Prawirodirjan. Mereka yang memberi bagian terbaik dari dirinya demi lingkungan yang lebih tangguh. Dan mari kita semua, di kota ini, bertanya diam-diam dalam hati: “Sudahkah aku berqurban hari ini?”

 

Ditulis Oleh: Akbar AP

Tim Pendukung: Chat GPT

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Diri

Secercah Harapan Pada 2024 (sebuah catatan singkat)

Simphoni Sang Cahaya