Postingan

Qurban, Nama Lain dari Kesanggupan untuk Peduli

  Disklaimer: Tulisan ini adalah keisengan saya karena merasa jenuh dengan beban dan deadline tugas UAS Matakuliah Manajemen Bencana. Pun, dengan matakuliah yang lain.   "Bencana tidak datang tiba-tiba. Ia dikirim pelan-pelan oleh kelalaian yang berlangsung terus-menerus."   Di kota yang tenang tapi rentan, di Yogyakarta yang selalu tampak akrab bagi kenangan dan juga kegelisahan, kami bertemu dengan wajah-wajah yang—kalau boleh dikatakan—sedang beribadah. Bukan di masjid, bukan pula dengan sejadah atau kitab suci, melainkan dengan cangkul di tangan, dengan bronjong di bahu, dan dengan tekad di dada. Mereka tak sedang menyembelih kambing. Tapi mereka sedang menyelamatkan hidup, yang tak kalah suci.   Idul Adha selalu datang dengan satu pesan lama yang tak habis ditafsirkan: qurban. Dalam pengertian paling purba, ia berarti pengorbanan. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, ia lebih dari itu—ia adalah kesanggupan untuk peduli. Untuk memberi bagian terbaik dari...

Madilog Skripsi

  Matahari hampir tenggelam di balik kampus, membelah langit yang berwarna jingga tua seperti sisa-sisa bara api. Di dalam ruangan diskusi perpustakaan, suasana memanas seperti tungku besi yang ditempa keras.   Sekar Pramudita mengetuk-ngetuk meja dengan jemari kurusnya. Ada kemarahan yang mencoba disembunyikan di balik suaranya yang tenang. "Interaksi sosial anak jalanan harus lebih diprioritaskan. Tanpa kasih sayang, mereka hanya tumbuh seperti ilalang di tanah gersang!"   Dwi Chintia Ana Putri terkekeh pendek, matanya sinis. "Sekar, kamu terlalu romantis. Tanpa kebijakan perlindungan anak, dunia akan terus menelan mereka, dan kasih sayang tidak akan cukup untuk mengubah sistem!"   Muhammad Yafid Rofiansyah menegakkan tubuhnya. Suaranya berat, seperti lempengan besi yang diseret di lantai. "Kalian berdua salah. Semua itu tidak berguna jika komunitas tidak memiliki pemimpin yang bisa menggerakkan perubahan nyata!"   Kuni Masyanah, yang s...

PALUNG PANCASILA (Sebuah Puisi Perenungan)

Gambar
    Pancasila itu cara, Bagaimana kita mampu optimasi, memberdayakan sesama. Nilainya bukan untuk dibenturkan dengan realita yang ada. Bukan untuk dijadikan ajang adu persepsi yang kerdil, apalagi kepentingan tertentu.   Pancasila itu milik bersama, Menuntun kita menuju titik benderang berpengharapan. Bukan menjadi alat profokasi terhadap pembenaran ego pribadi. Bukan sekedar raung kosong yang mengintimidasi nilai-nilai manusiawi itu sendiri.   Pancasila selalu selaras dengan ajaran agama, Sebab hadirnya sejalan dengan tujuan hukum Tuhan semesta raya. Menyederhanakan aliran dalil samawi, hingga sejukkan ruang logika dan mudah direguk oleh pelangi jiwani.   Pancasila ialah kunci kearifan bagi marwah bangsa Nusantara, Hadirnya santun tanpa pamrih, berusaha menginklusikan diri bersama para empunya nurani. Langgeng berestafet sedari lahirnya hingga kini.   Pancasila adalah konkretnya solusi dalam kehidupan tanah air ini...

Refleksi Diri

Gambar
Bahagia tak selalu tentang puncak dunia dan kedalaman samudra. Evaluasi tak selalu tentang kode pemrograman yang rumit dan labirin konspirasi yang berbelit. Namun, refleksi adalah bagaimana aku bisa internalisasi sekaligus interpretasi kualitas diri agar lebih baik kedepannya dalam berpartisipasi mencipta dan mengelola ruang perspektif keadilan yang seimbang. Sebab semua itu butuh proses yang tidak sebentar, progres yang tidak bisa radikal, dan hasilnya pun belum pasti sesuai ekspetasi.   Happiness today, thanks for now, and success to social welfare's self. Semoga 2025 memberi makna yang mendewasakan secara fisik, mental, intelektual, bahkan spiritual dalam kehidupan pribadi maupun sosial. So, terbuka terhadap hal baru dan kesiapan menerima perubahan yang dibawanya adalah keniscayaan.     Bantul, 3 Februari 2025   Catatan Seorang Pengelana      

Secercah Harapan Pada 2024 (sebuah catatan singkat)

🗒💌 Seiring angka meningkat, nilai diri harusnya semakin melangit. Impian masih banyak tersisa, artinya masih layak diharap dan dicapai dengan tertatih dan terengah. Evaluasi atas langkah sejauh ini merupakan sebuah keniscayaan yang wajib dirutinkan secara harian. Tahun 2024 ini beragam target impian yang harus direalisasikan. Biarpun skala persimpangan kian membadai, semoga bijak bestari yang bertumbuh dan berkembang seiring langkah berdaya membawa perubahan yang cemerlang menyejahterakan. 💌🗒 💎 Secercah coretan dari seorang yang masih belajar menimba iman, ilmu, dan amal perikehidupan: 🌻 ✍ Akbar AP 🤩 Akun Media Sosialku 🗓 Dusun Bogoran, 2 Februari 2024M/Jumat Wage, 21 Rajab 1445H            

Simphoni Sang Cahaya

Kau adalah insan kamil, Bercahaya terang bagaikan mentari pagi, Ngkaulah yang memiliki cinta, Mahabah yang membawa kesejukan, Kedamaian bagi para pengelana cinta, Senyummu adalah anugrah, Tawamu adalah rahmat, Suaramu merupakan manevestasi simphoni alam semesta, Ketika ngkau telah memberikan titah, Alampun patuh, Tak akan ada yang membantah, Karena ngkaulah nur 'ala nur, Manusia terpilih untuk menjadi pemimpin alam, Tugasmu begitu berat, Gunung-gunungpun tak mampu mememikulnya, Tapi Ngkau sanggup menerimanya. Duhai Nabi! Begitu berat beban di pundakmu, Tapi tak sekalipun kau mengeluh, Senyuman selalu terpancar dari wajah mulia-Mu. Duhai Kekasih! Bagaimana cara kami membalas cinta-Mu? Padahal cinta-Mu merupakan mutiara paling indah, Yang terdapat rasa ke ikhlasan dan kerinduan, Duhai Rasullullah! Izinkan kami mereguk cahaya cinta mu, Agar kami dapat bersamamu. ✍🏻 Bintang Biru dalam Wisma Tiban Putra, 🗒️ 28/09/2023 🌟 Selamat merayakan Maulid Rasulullullah 1444H/2023M 🌕  

Bagaimana Kalau (Repost Puisi Memorable Sastrawan Kawakan Taufik Ismail)

Assalamu'alaikum, Sobat Pengelana! Alhamdulillah, bahagia rasanya dapat menyapa lagi, sesudah 2 pekan tidak posting di ruang mencatat ini. Harapannya, saya bisa aktif seperti sebelum-sebelumnya. Paling tidak, sekali posting dalam sepekan. Nah, daripada semakin panjang berbasa-basi, saya ingin menyampaikan sebuah informasi, bahwa postingan kali ini saya ingin membagikan sebuah puisi dari Taufik Ismail yang berkesan bagi saya. Karena puisi ini disusun dengan diksi yang rapi, unik, menjadi sebab akan keindahan tiap baitnya. Adapun untuk penafsiran puisinya, saya kembalikan pada Sobat Pengelana sekalian dahulu. Jujur, jam terbang saya dalam dunia sastra belum terlampau tinggi, sehingga dikhawatirkan terjadi kekeliruan tafsir dan menuai protes dari para pakar, hehe. Sekarang, mari kita cermati puisinya! === Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat, Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada K...